Kudeta Myanmar Tak Kunjung Selesai, Sebanyak 1,5 Juta Warga Lakukan Eksodus dalam 2 Tahun Terakhir
Amnesty International mengungkap pada November 2022 jumlah pengungsi dari Myanmar telah melonjak jadi 1,4 juta jiwa.
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Seno Tri Sulistiyono
Laporan Wartawan Tribunnews.com, Namira Yunia Lestanti
TRIBUNNEWS.COM, NAYPYIDAW – Pasca dua tahun pemerintahan Myanmar di kudeta Junta militer, organisasi bantuan kemanusiaan pada anak atau United Nations Children's Fund (UNICEF) mencatat sebanyak 1,5 juta masyarakat Myanmar melakukan eksodus massal.
“Lebih dari 1,5 juta orang di Myanmar telah kabur dari negara mereka (eksodus) untuk mengungsi, dan anak-anak terpaksa meninggalkan rumah dan komunitas mereka," kata UNICEF melalui cuitan di akun Twitter, Rabu (1/2/2023).
Eksodus tersebut dilakukan jutaan masyarakat setelah Myanmar diselimuti krisis politik pasca panggung demokrasi dikuasai oleh Junta militer.
Baca juga: 2 Tahun pasca-Kudeta Myanmar, Junta Militer Janji Adakan Pemilihan Umum
Kekacauan tersebut makin memanas usai pemimpin Junta Militer Myanmar, Min Aung Hlaing menggulingkan pemerintahan de facto Aung San Suu Kyi dan menangkap puluhan pejabat termasuk Presiden Htin Kyaw pada 1 Februari 2021.
Sejak itu, pertempuran antaran warga sipil dengan Junta militer kian bergejolak. 17.500 warga termasuk pedemo, aktivis, hingga pejabat terkait pemerintah sipil ditahan dengan alasan yang tak masuk akal bahkan sebanyak 2.900 orang dinyatakan tewas usai junta militer menyabotase kepemimpinan Myanmar.
"Sulit untuk menghindar, warga sipil telah menjadi sasaran serangan. Tanpa pandang bulu, mereka di eksekusi di luar hukum, disiksa, dan pemukiman tempat mereka tinggal di bakar” imbuh UNICEF.
Ketegangan ini yang mendorong warga Myanmar untuk kabur menyelamatkan diri dari cengkraman Junta militer.
Menurut Organisasi yang bergerak mengurusi hak asasi manusia, Amnesty International mengungkap pada November 2022 jumlah pengungsi dari Myanmar telah melonjak jadi 1,4 juta jiwa.
Angka tersebut diperkirakan terus meningkat, setelah pekan lalu sekitar 20.000 warga sipil melarikan diri ke Negara Bagian Karen selama pertempuran antara pasukan perlawanan lokal dan Junta militer di dekat Kotapraja Kawkareik.
Sementara 12.839 orang yang gagal kabur ditahan dalam kondisi yang tidak manusiawi di Myanmar. Sisanya sekitar 73 orang masih menunggu hukuman mati, mengutip dari Anadolu Agency.
"Militer Myanmar telah membunuh ratusan pengunjuk rasa dan warga yang melihat unjuk rasa, dan ribuan lainnya tewas akibat konflik bersenjata di seluruh negeri sejak kudeta," kata Amnesty International dalam pernyataannya.
Jumlah tahanan tersebut berkurang bula dibandingkan dengan total di tahun 2022, lantaran pada Hari Nasional Myanmar yang jatuh di November tahun lalu, junta militer membebaskan 5.744 tahanan dengan amnesti.
Termasuk mantan Duta Besar Inggris Vicky Bowman dan suaminya Ko Htein Lin, pembuat film Jepang Toru Kubota, dan Sean Turnell, serta seorang ekonom Australia yang menjabat sebagai penasihat Suu Kyi.
Baru – baru ini Junta militer juga mulai memperlonggar aturan dengan mengizinkan adanya pemilu pada Agustus mendatang. Meski begitu imbas dari konflik politik ini ekonomi Myanmar menjadi lumpuh selama dua tahun terakhir.
Jutaan masyarakat mengeluhkan krisis serta kekurangan pasokan makanan, bahan bakar, dan persediaan lain. Tak hanya itu nilai mata uang Myanmar ikut anjlok.
Lebih lanjut, saat ini keberaadaan mata uang asing di Myanmar juga tengah menghadapi kelangkaan akibat pengenaan sanksi-sanksi dari negara-negara Barat yang menentang sikap Junta militer. Ancaman ini membuat 40 persen populasi hidup di Myanmar bawah garis kemiskinan selama tahun 2022.