Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

2 Tahun Kudeta Myanmar: 3000 Orang Tewas, 17.000 Dipenjara, 1,2 Juta Warga Mengungsi

PBB memperkirakan sekitar 1,2 juta warga mengungsi, 3000 orang tewas dan 17 ribu lainnya dipenjara sejak kudeta militer Myanmar 2 tahun lalu.

Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Arif Fajar Nasucha
zoom-in 2 Tahun Kudeta Myanmar: 3000 Orang Tewas, 17.000 Dipenjara, 1,2 Juta Warga Mengungsi
Jack TAYLOR / AFP
Para pengunjuk rasa memegang gambar pemimpin sipil Aung San Suu Kyi yang ditahan di luar Kedutaan Besar Myanmar di Bangkok pada 1 Februari 2023, untuk menandai peringatan kedua kudeta di Myanmar. Militer Myanmar merebut kekuasaan pada 1 Februari 2021, menggulingkan pemerintah sipil dan menangkap pemimpin de factonya, Aung San Suu Kyi. Lebih dari 2.800 orang telah terbunuh, menurut PBB, dan ribuan lainnya telah ditangkap ketika junta melancarkan tindakan keras berdarah terhadap perbedaan pendapat. 

TRIBUNNEWS.COM - Para pengunjuk rasa di Myanmar memperingati dua tahun kudeta militer dengan "aksi diam" dan kembali bersumpah untuk memulihkan demokrasi yang direbut dari mereka.

Dilansir Independent, hampir 1,2 juta orang mengungsi di dalam negeri dan lebih dari 70.000 orang meninggalkan negara itu dalam dua tahun sejak kudeta Myanmar, menurut perkiraan PBB.

Asosiasi Bantuan Independen untuk Tahanan Politik, sebuah kelompok pengawas yang melacak pembunuhan dan penangkapan, mengklaim setidaknya 2.940 warga sipil telah dibunuh oleh pihak berwenang.

17.572 lainnya telah ditangkap sejak 1 Februari 2021, dengan 13.763 di antaranya masih berada di balik jeruji besi.

Pada hari Rabu (1/2/2023), kelompok pro-demokrasi meminta warga sipil untuk diam di rumah untuk menunjukkan kekuatan dan solidaritas dalam menghadapi tindakan keras junta terhadap perbedaan pendapat dan kebebasan berbicara.

Badan Koordinasi Pemogokan Umum oposisi, yang dibentuk setelah kudeta, mendesak orang untuk tetap tinggal di dalam rumah atau tempat kerja mereka dari pukul 10.00 hingga 15.00 waktu setempat.

Baca juga: Junta Myanmar Perpanjang Status Darurat, Pakar PBB: Bencana Hak Asasi Manusia

Foto dan video yang dibagikan di media sosial menunjukkan jalan-jalan kosong di Yangon, pusat komersial dan bekas ibu kota.

Berita Rekomendasi

Hanya sedikit kendaraan dan sebagian besar bus kosong melintas di jalan.

Jalan-jalan menuju kuil Buddha Shwedagon yang terkenal, yang biasanya dipadati para jemaah, juga sepi.

Di tempat lain, kelompok-kelompok kecil melakukan protes damai menentang kekuasaan militer.

Di negara tetangga Thailand, ratusan pengunjuk rasa anti-kudeta mengadakan unjuk rasa di luar kedutaan Myanmar di ibu kota.

Seruan "kami adalah rakyat, kami memiliki masa depan" dan "revolusi harus menang" bergema saat banyak orang berdatangan dengan foto-foto pemimpin yang digulingkan, menyerukan pembebasannya.

Aung San Suu Kyi (77) menjalani beberapa hukuman penjara dengan total 33 tahun setelah dinyatakan bersalah dalam serangkaian dakwaan yang diajukan oleh militer.

Foto ini diambil pada 17 Juli 2019, memperlihatkan Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi menghadiri upacara pembukaan Pusat Inovasi Yangon di Yangon.
Foto ini diambil pada 17 Juli 2019, memperlihatkan Penasihat Negara Myanmar Aung San Suu Kyi menghadiri upacara pembukaan Pusat Inovasi Yangon di Yangon. (STR / AFP)

Baca juga: Divonis 7 Tahun Lagi, Total Hukuman Aung San Suu Kyi Menjadi 33 Tahun Penjara

Partainya mengatakan semua tuduhan itu bermotif politik.

“Tahun ini sangat menentukan bagi kami untuk benar-benar menumbangkan rezim militer,” kata Acchariya, seorang biksu Buddha yang menghadiri aksi protes di Thailand, kepada Reuters.

Junta telah membuat Myanmar mengalami krisis ekonomi serta keamanan, menggagalkan reformasi progresif selama beberapa dekade dan mengundang sanksi internasional baru.

Junta awalnya melakukan kudeta dengan alasan bahwa pemilihan umum pada tahun 2020 telah dicurangi.

Sekarang, junta menganggap penumpasan terhadap para pembangkang sebagai upaya melawan "teroris".

Junta menyamakan pengunjuk rasa dengan kelompok-kelompok militan yang telah lama beroperasi di pinggiran negara.

Pada hari Rabu, Min Aung Hlaing mengatakan militer akan melindungi konstitusi negara dan pemilihan multi-partai harus diadakan.

Namun ia tidak memberikan batas waktu untuk kemungkinan diadakannya pemilihan.

Sementara itu, pemilihan tidak dapat dilakukan saat status darurat diberlakukan.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di

Wiki Terkait

© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas