Masyarakat Dunia Diminta Desak China Hentikan Segala Bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Warga Tibet
Masyarakat Tibet dikabarkan masih terus mengalami berbagai penindasan serta pemantauan yang ketat rezim China sejak 1949, hingga saat ini.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Masyarakat Tibet dikabarkan masih terus mengalami berbagai penindasan serta pemantauan yang ketat rezim China sejak 1949, hingga saat ini.
Mengutip laporan The Print pada Kamis (9/2/2023) dan berbagai karya jurnalistik dari beberapa media, warga Tibet diketahui terus mendapatkan perlakuan kasar oleh otoritas China di wilayah Tibet.
Tibet Press dalam laporannya menyebutkan melalui kebijakan "nol-Covid" yang pernah diterapkan selama tiga tahun oleh Beijing, ternyata dijadikan alat represi yang semakin kuat untuk melakukan kontrol dan pengawasan yang ketat untuk warga Tibet.
Menanggapi hal ini, Center for Indonesian Domestic and Foreign Policy Studies (Centris) mendesak negara-negara dunia khususnya Indonesia untuk meminta China menghentikan segala tindak kekerasan terhadap warga Tibet, yang dilakukan diwilayah Tibet.
“Dari laporan berbagaibmedia massa, salah satunya Tibet Press jelas sekali pelanggaraan berat HAM yang dilakukan China terhadap orang-orang Tibet. Ini harus segera dihentikan,” kata AB Solissa kepada wartawan, Selasa (14/2/2023).
Baca juga: Kasus Covid-19 Ditemukan, Pemerintah China Mulai Tutup Istana Potala di Tibet
Terkait perlakuaan Beijing terhadap prang-orang Tibet, CENTRIS mengingatkan China agar tidak sewenang-wenang mengingat Tibet bukan bagian dari China, berdasarkan fakta serta data yang adaa dan telah banyak beredar di medi massa maupun media sosial.
Dari data dan catatan sejarah yang diperoleh CENTRIS, diketahui bahwasanya Tibet tidak pernah menjadi bagian dari Tiongkok sebelum Republik Rakyat Tiongkok (RRC) menyerbu wilayah Himalaya pada tahun 1950 (menurut catatan resmi pra-1949).
Data ini diperoleh dari salah satu hasil proyek penelitian sejarah kolaboratif multi-tahun yang diterbitkan baru-baru ini, dan temuan proyek tersebut dipresentasikan di Komisi Eksekutif-Kongres AS di China beberapa waktu lalu.
Seorang Profesor di Universitas Kota Hong Kong, Hon Shiang Lau, dalam kesaksiannya di hadapan Komisi Eksekutif-Kongres Amerika Serikat di China, menyajikan peta dari dinasti Ming dan Qing untuk membuktikan bahwa Tibet tidak pernah menjadi bagian dari kerajaan Tiongkok.
“Jika melihat peta tersebut, jelas klaim China untuk menyatukan Tiongkok dengan mencaplok Tibet tidak berdasar dan memiliki argumen yang kuat,” jelas AB Solissa.
Saksi lain, Profesor Hukum Internasional dan Ketua Eksekutif Kreddha, Michael Van Walt Van Praag menyatakan dengan jelas bahwa Tibet secara historis bukanlah bagian dari Tiongkok dan menyangkal klaim Beijing atas Tibet sejak zaman kuno, tidak benar.
Profesor Praag melanjutkan bahwa komunitas internasional termasuk Amerika Serikat telah salah mengambil pandangan karena percaya jika konflik Tiongkok-Tibet adalah urusan dalam negeri China.
Praag menjelaskan dalam hukum internasional, konflik Tiongkok-Tibet adalah bentuk invasi Beijing terhadap Tibet pada tahun 1950.
“Ini semakin memperjelas batasan-batasan yang seyogianya dipahami China. Jadi, jangan pernah membiarkan China sewenang-wenang dengan orang-orang Tibet,” tutur AB Solissa.
CENTRIS menilai wajar jika banyak pihak yang berasumsi berbagai aksi pelanggaran HAM yang dilakukan Beijing tersebut, memiliki tujuan yang sama dengan apa yang Tiongkok lakukan terhadap etnis Uighur di Xinjiang.
Etnis Uighur sendiri adalah kumpulan muslim minoritas ras Turki yang berasa diwilyah Xinjian, yang saat ini juga tengah mengalami berbagai bentuk tindak kekerasan.
Negara-negara dunia terutama Amerika Serikat mempercayai perlakuan dan berbagai tindakan kekerasan Beijing tersebut, menjurus pada aksi genosida jutaan muslim Uighur di Xinjiang China.
“Banyak yang menikai aksi bengis Beijing ini sebagai upaya untuk menghapus identitas Tibet dan menggantinya dengan identitas China, seperti yang mereka lakukan kepada etnis Uighur. Wajar saja,” pungkas AB Solissa.