Akademisi: Zelenskyy harus Negosiasi dengan Rusia, Bukan Minta Tambahan Senjata ke Barat
tro menekankan bahwa komedian yang berubah menjadi politisi itu harus memperhatikan pendapat umum dan mencari jalan menuju perdamaian
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Eko Sutriyanto
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, RHODE ISLAND - Profesor Ilmu Politik di University of Rhode Island, Amerika Serikat (AS), Nicolai Petro, mengatakan bahwa Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy harus memulai kembali negosiasi dengan Rusia.
Ia pun menegaskan NATO harus menangani masalah keamanan Rusia ini secara serius.
Perlu diketahui, Ukraina memutuskan pembicaraan damai dengan Rusia pada April 2022 atas desakan kekuatan negara Barat.
"Ukraina harus memulai kembali pembicaraan damai dengan Rusia, alih-alih meminta lebih banyak senjata kepada negara-negara NATO," kata Petro.
Dikutip dari laman Sputnik News, Minggu (2/4/2023), dalam sebuah wawancara dengan kantor berita AS pada minggu ini, Zelenskyy bersikeras bahwa kota Artemovsk di Donbass, yang dikenal sebagai Bakhmut oleh rezim Ukraina akan menyebabkan keruntuhan moral di dalam negeri.
Petro menekankan bahwa komedian yang berubah menjadi politisi itu harus memperhatikan pendapat umum dan mencari jalan menuju perdamaian.
Baca juga: Alasan Jusuf Kalla Dukung Israel Ikut Piala Dunia U20 di Indonesia, Sebut Membangun Upaya Perdamaian
"Saya pribadi melihat ini sebagai 90 persen upaya melobi Barat untuk menyediakan lebih banyak senjata dan lebih banyak sumber daya demi melanjutkan perjuangan," tegas Petro.
Menurutnya, jika Zelenskyy tertarik dengan pendapat masyarakat Ukraina, maka akan ada negosiasi terkait hal ini.
"Setiap pengamat setuju bahwa harus ada negosiasi untuk mengakhiri perang dan tujuannya adalah mengakhiri perang dengan persyaratan yang menguntungkan Ukraina. Jadi agak aneh melihat ia mengajukan kebutuhan senjata demi menenangkan masyarakat Ukraina, padahal cara yang jelas untuk mewujudkan itu hanya dengan memulai negosiasi," papar Petro.
Kendati demikian, Petro menilai bahwa ketakutan Zelenskyy terkait kemungkinan hilangnya minat para pendukung Baratnya untuk mendanai kampanye militernya pun cukup beralasan.
"Jelas bahwa jika dukungan Barat yang dikirim dalam jumlah besar itu diakhiri, maka Ukraina benar-benar tidak dapat berperang. Jadi Barat, dan terutama Amerika Serikat menopang rezim saat ini dan mendorongnya untuk melakukan apa yang diinginkan Barat," tutur Petro.
Ia memandang Ukraina pada akhirnya harus memutuskan kebijakan AS demi 'mengejar perang ini sampai akhir yang pahit, hingga sisa perjuangan terakhir'.
Karena 'tidak mungkin jika ini demi kepentingan Ukraina, mengorbankan semua orang untuk mati'.
Pada saat itu, Ukraina harus kembali ke pembicaraan damai yang dihentikan pada April 2022 atas desakan Perdana Menteri (PM) Inggris saat itu Boris Johnson.
Negosiasi tersebut akhirnya harus mengakui proposal Rusia pada akhir 2021 untuk model hubungan baru di benua Eropa, yang mempertimbangkan masalah keamanan Rusia.
"Negosiasi yang harus dilakukan haruslah negosiasi antara Ukraina dan Rusia. Akan sangat masuk akal untuk mengikat mereka ke dalam serangkaian negosiasi yang lebih besar antara Rusia dan Eropa mengenai perdamaian dan penyelesaian baru pascaperang di Eropa, yang akan memberi Rusia tempat bagi para jenderal dalam pengaturan keamanan umum untuk Eropa," kata Petro.
Bahkan saat Presiden AS Joe Biden meresmikan 'Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) untuk Demokrasi', para pemimpin Eropa berbondong-bondong pergi ke China untuk bertemu dengan Presiden Xi Jinping.
Baca juga: Presiden Belarus Tuduh Polandia Rencanakan Invasi, Ancam akan Sebar Nuklir Strategis Rusia
Presiden Prancis Emmanuel Macron dan Kepala Eksekutif Uni Eropa (UE) Komisi Eropa Ursula von der Leyen pun akan segera berkunjung.
Kanselir Jerman Olaf Scholz ada di sana baru-baru ini.
Perdana Menteri (PM) Spanyol Pedro Sanchez pun berada di China pada minggu ini untuk mendesak Xi menerima seruan Presiden Ukraina Volodymr Zelenskyy terkait kerangka kerja 12 poin China untuk gencatan senjata.
Dalam kerangka kerja itu, China menyerukan diakhirinya 'mentalitas Perang Dingin' Barat dan pengenaan sanksi sepihak terhadap saingan.
Sementara itu, AS yang mendominasi NATO, telah menolak blueprint itu sebagai 'jebakan sinis'.
Petro meyakini bahwa China kini telah menjadi pusat perhatian negara Barat, hanya karena menolak mencela tetangga dan mitra dagang terdekatnya, Rusia.
"Pada titik ini, China tidak perlu melakukan apapun untuk menjadi efektif, selain berdiri di sudut, di sisi Rusia, negara itu hanya perlu ada di sana. Saat ini China mendapatkan semua yang diinginkannya, termasuk pengakuan dari Eropa dengan melakukan apa yang kini dilakukannya," jelas Petro.
KTT yang digelar baru-baru ini di Rusia antara Xi dan Presiden Rusia Vladimir Putin telah memicu serangkaian reaksi bermusuhan dari anggota NATO, termasuk upaya untuk menuntut Putin dengan kejahatan perang di Pengadilan Kriminal Internasional yang yurisdiksinya tidak diakui oleh Rusia, China, maupun AS.
"Ini masih sangat awal dalam permainan, tapi permainannya besar. Salah satunya adalah mengubah korelasi kekuatan di dunia antara Barat dan Timur. Jika Rusia dan Eropa mencapai pengaturan keamanan baru yang memberi Rusia suara yang setara dengan negara-negara Eropa lainnya, maka akan muncul pertanyaan 'mengapa pangkalan dan pasukan Amerika dibutuhkan di Eropa?," tegas Petro.
Menurut Petro, ada ketidakcocokan mendasar dengan keamanan Eropa yang mencakup Rusia, namun didikte oleh kepentingan Amerika.
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.