China Rayu Jepang Agar Tak Bergabung dengan Sanksi Teknologi AS
China mendesak Jepang agar tidak bergabung mendukung inisiatif Amerika Serikat menekan industri semikonduktor di Negeri Tirai Bambu.
Penulis: Nur Febriana Trinugraheni
Editor: Choirul Arifin
Laporan Wartawan Tribunnews, Nur Febriana Trinugraheni
TRIBUNNEWS.COM, BEIJING - Menteri Luar Negeri China Qin Gang mendesak Jepang agar tidak bergabung dengan upaya Amerika Serikat menekan industri semikonduktor di Negeri Tirai Bambu.
Selama pertemuan dengan Menteri Luar Negeri Jepang, Yoshimasa Hayashi, yang diadakan di Beijing pada Minggu (2/4/2023), Qin mengatakan blokade chip hanya akan memperkuat tekad Beijing untuk mencapai kemandiriannya.
“Di masa lalu, AS dengan kejam menindas industri semikonduktor Jepang, tetapi sekarang AS mengulangi taktik lamanya terhadap China,” kata Qin, yang dikutip dari Bloomberg.
"Jangan lakukan pada orang lain apa yang kamu tidak ingin orang lain lakukan padamu," lanjut Qin dalam pernyataannya yang disiarkan Kementerian Luar Negeri China.
Dia menambahkan, China berharap dapat bekerja sama untuk membangun hubungan bilateral yang lebih baik dengan Jepang, menurut pernyataan Kementerian Luar Negeri China.
Kunjungan Hayashi ke ibu kota China adalah perjalanan pertama yang dilakukan oleh seorang diplomat top Jepang dalam lebih dari tiga tahun terakhir.
Perjalanan itu terjadi setelah China pada akhir bulan lalu mengutuk Jepang karena memperkenalkan pembatasan ekspor 23 jenis teknologi pembuatan chip terdepan. Jepang memperketat kontrol perdagangan karena sekutunya, AS, meningkatkan upaya untuk membatasi akses China ke teknologi semikonduktor utama.
Hubungan antara Beijing dan Tokyo telah retak dalam beberapa tahun terakhir, karena Jepang bergabung dengan gerakan yang dipimpin AS untuk melawan pengaruh China melalui lembaga-lembaga seperti kelompok Quad, yang mencakup Australia dan India.
Meskipun demikian, Jepang telah berusaha untuk mempertahankan hubungan yang stabil dengan China, mitra dagang terbesarnya.
Baca juga: Produsen Chip Semikonduktor Ternama Ini Jadi Korban Perang Teknologi AS-China
Sementara itu, kekhawatiran meningkat di Negeri Matahari Terbit akibat penahanan karyawan perusahaan farmasi asal Jepang, Astellas Pharma Inc., di China.
Hayashi memprotes penahanan tersebut dan mendesak agar pria itu dibebaskan dalam pertemuannya dengan Qin, serta dalam diskusi dengan Perdana Menteri Li Qiang dan diplomat top Wang Yi, menurut pernyataan dari kementerian luar negeri Jepang.
“Saat melakukan bisnis dan pertukaran orang-ke-orang, sangat penting untuk memiliki lingkungan di mana warga negara dan perusahaan Jepang dapat melakukan aktivitas yang bebas dari kecemasan,” katanya.
Baca juga: Gandeng Sejumlah Pembuat Mobil China, Huawei akan Produksi EV Aito
Tujuh belas warga Jepang telah ditahan di China sejak 2015, kata seorang pejabat kementerian luar negeri Jepang kepada parlemen pada pekan lalu. Lima orang lainnya masih berada di tahanan China, sedangkan dua di antaranya telah menerima hukuman.
Perdana Menteri Jepang Fumio Kishida mengatakan kepada anggota parlemen, bahwa negaranya akan terus menyerukan pembebasan karyawan yang ditahan.
Dua negara Asia itu menghadapi serangkaian masalah bilateral termasuk kebuntuan berkepanjangan atas pulau-pulau yang disengketakan di Laut China Timur.
China juga telah menyatakan penentangan terhadap rencana Jepang untuk membuang limbah yang diolah dari pembangkit nuklir Fukushima Dai-ichi yang dilanda tsunami ke laut.
Kunjungan Hayashi mengikuti pertemuan Kishida dan Presiden Xi Jinping di Bangkok pada November tahun lalu. Pertemuan itu juga terjadi beberapa minggu sebelum Jepang menjadi tuan rumah KTT Group of Seven (G7), di mana Kishida telah mengundang banyak pemimpin tamu dari Asia dan sekitarnya, tetapi tidak mengundang Xi.
Masalah Taiwan
Dalam pertemuan tersebut, Qin juga mendesak Jepang untuk menjauhi isu-isu terkait Taiwan dan menjauhi hal-hal yang dapat membahayakan kedaulatan China.
Banyak pejabat di Jepang, yang memandang stabilitas Taiwan sebagai kunci keamanan Jepang, telah mengungkapkan kekhawatiran bahwa suatu hari China mungkin akan merebut Taiwan dengan paksa.
“Koeksistensi damai dan kerja sama yang bersahabat adalah satu-satunya pilihan yang tepat untuk hubungan China-Jepang,” kata Qin.
China dan Jepang mengumumkan mereka telah selesai membuat hotline militer yang bertujuan membangun kepercayaan dan menghindari insiden tak terduga pada Jumat (31/3/2023).
Terkait kasus karyawan perusahaan farmasi yang ditahan di China atas dugaan spionase, Qin menegaskan kasus tersebut akan ditangani sesuai hukum yang berlaku.
Sedangkan Hayashi mengatakan pada konferensi pers hari Minggu, dia mendesak China untuk segera membebaskan karyawan tersebut.