Apa yang Terjadi di Sudan? Ini Fakta-fakta Pertempuran antara Tentara Reguler dengan Paramiliter
Apa yang terjadi di Sudan? Pahami akar masalah dan latar belakang bentrokan antara tentara reguler Sudan dan paramiliter RSF
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Arif Fajar Nasucha
TRIBUNNEWS.COM - Sejak Sabtu (15/4/2023) dini hari, bentrokan pecah antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan kelompok paramiliter Sudanese Armed Forces (RSF).
RSF awalnya beroperasi sebagai milisi melawan pemberontak selama puncak konflik di wilayah Darfur, tetapi kemudian bergabung dengan militer reguler.
Namun kedua belah pihak bentrok karena perbedaan pandangan dan kini memperebutkan kekuasaan.
Mengutip egyptianstreets.com, penembakan berkelanjutan terjadi sejak Sabtu di ibu kota Sudan, Khartoum dan beberapa kota lainnya.
Pertempuran terus meningkat seiring berjalannya hari, termasuk penggunaan senjata berat dan pesawat tempur angkatan udara serta helikopter.
Dalam serangkaian pernyataan, paramiliter RSF mengklaim bahwa SAF telah menyerang markasnya di Khartoum selatan.
Baca juga: Bentrok Angkatan Bersenjata Sudan dan Milisi RSF Tewaskan 25 Orang, Tidak Ada Korban WNI
RSF juga mengklaim telah menguasai bandara kota, serta Istana Republik, yang merupakan kursi kepresidenan di Khartoum.
Di sisi lain, SAF mengeluarkan pernyataan yang mengklaim bahwa RSF-lah yang memulai pertempuran, setelah menyerang pasukannya di Khartoum selatan dan kediaman Abdel-Fattah Al-Burhan, panglima tertinggi SAF.
Pernyataan lain juga membantah klaim RSF dan menyebut mereka sebagai pasukan pemberontak.
Saat konflik meningkat, SAF dan RSF mengeluarkan klaim yang bertentangan tentang kendali posisi strategis utama seperti bandara Khartoum dan Merowe, serta gedung televisi dan radio di Khartoum.
Kedua belah pihak juga telah menutup pintu untuk segala kemungkinan kompromi.
SAF mengatakan dalam sebuah pernyataan bahwa tidak ada pembicaraan yang akan dilakukan sampai RSF "dihancurkan dan dibubarkan".
Sementara itu komandan RSF, Mohamed Hassan Dagalo atau Hamedti, mengatakan kepada Al-Jazeera bahwa tujuan RSF adalah untuk membuat kepala SAF, Abdel Fattah al-Burhan, diadili.
Saat pertempuran berlanjut, Sudan, dan khususnya Khartoum, berada dalam keadaan kacau.
Terjadi pemadaman listrik, penutupan jalan, dan pembatalan penerbangan.
Persatuan Dokter Sudan juga telah mengumumkan bahwa bentrokan tersebut telah merenggut nyawa setidaknya 25 orang, dan menyebabkan hampir 200 orang terluka.
Awal Mula Konflik
Mengutip BBC.com, ketegangan antara RSF dan SAF telah meningkat selama berbulan-bulan.
Tetapi akarnya sudah ada sejak zaman mantan presiden Sudan Omar Al-Bashir, yang digulingkan oleh militer pada 2019.
Saat itu, tentara yang dipimpin oleh Ahmed Awad Ibn Auf menggulingkan pemerintah dan Badan Legislatif Nasional dan mengumumkan keadaan darurat di negara itu untuk jangka waktu 3 bulan, diikuti dengan masa transisi dua tahun sebelum tercapai kesepakatan kemudian.
Sejak itu, Sudan diperintah oleh aliansi yang goyah antara kelompok militer dan sipil.
Pada 25 Oktober 2021, militer Sudan yang dipimpin Fattah al-Burhan mengambil alih pemerintahan melalui kudeta militer.
Sudan kemudian dijalankan oleh dewan jenderal dan ada dua orang militer yang menjadi pusat perselisihan.
Jenderal Abdel Fattah al-Burhan menjadi presiden de facto negara itu.
Sementara wakilnya adalah pemimpin RSF, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, lebih dikenal dengan nama Hemedti.
Mereka tidak setuju dengan arah negara menuju dan langkah yang diusulkan menuju pemerintahan sipil.
Salah satu poin utama yang mencuat adalah mengenai rencana untuk memasukkan RSF berkekuatan 100.000 ke dalam tentara dan siapa yang kemudian akan memimpin pasukan baru.
Mengapa semuanya dimulai pada hari Sabtu?
Kekerasan terjadi setelah berhari-hari penuh ketegangan ketika anggota RSF ditempatkan kembali di seluruh negeri.
Langkah itu dianggap sebagai ancaman oleh tentara reguler.
Namun tidak jelas siapa yang melepaskan tembakan pertama pada Sabtu pagi.
Potensi terjadinya perang saudara
Yassir Abdullah, redaktur pelaksana surat kabar Al-Sudani, mengkhawatirkan Sudan sedang menuju "perang saudara habis-habisan", dilansir Sky News.
"Ini sangat serius," katanya.
"Jika tidak ada intervensi dari pimpinan Angkatan Bersenjata untuk menghentikan pertempuran, kita menuju perang saudara habis-habisan."
"Ini merupakan ancaman bagi stabilitas negara secara keseluruhan."
"Tidak ada pemenang di sini."
Isma'il Kushkush, seorang jurnalis independen di Khartoum, mengatakan kepada Sky News bahwa konflik tersebut adalah "skenario terburuk" - terutama jika, seperti yang ditakuti banyak orang, hal itu menandakan dimulainya perang saudara.
Dia mengatakan sebagian besar orang menaati peringatan untuk tetap di dalam karena suara tembakan keras mendominasi kota.
"Tidak ada orang di jalanan," katanya.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)