Mengenal RSF, Pasukan Paramiliter yang Lawan Tentara Sudan hingga Terjadi Perang Saudara
Dua pihak berperang di negara timur laut Afrika ini yakni tentara organik Sudan dan kelompok paramiliter Sudan yang bisa disebut RSF.
Editor: Hasanudin Aco
TRIBUNNEWS.COM, SUDAN - Perang saudara di Sudan kini terjadi.
Dua pihak berperang di negara timur laut Afrika ini yakni tentara organik Sudan dan kelompok paramiliter Sudan yang bisa disebut Rapid Support Forces (RSF).
Perang saudara sengit dua institusi militer di Sudan ini terjadi sejak, Sabtu (15/4/2023) kemarin untuk memperebutkan kekuasaan.
Bahkan keduanya saling mengklaim telah menguasai tempat-tempat strategis yakni istana kepresidenan dan bandara internasional.
Muncul banyak pertanyaan siapa sebenarnya RSF ini? Mereka kelompok tentara yang mana sehingga disegani di Sudan dalam beberapa kurun waktu terakhir.
Berikut sejumlah fakta mengenai Rapid Support Forces (RSF) seperti dirangkum Tribunnews.com dari Reuters pada Minggu (16/4/2023).
1. RSF dipimpin oleh Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo, yang saat ini menjabat sebagai wakil kepala Dewan Kedaulatan Sudan yang berkuasa yang dikenal sebagai Hemedti.
Analis memperkirakan jumlah pasukan RSF sekitar 100.000, dengan pangkalan dan penempatan di seluruh negeri.
2. Pasukan RSF awalnya lahir dan berkembang dari milisi janjaweed yang pernah bertempur dalam konflik pada tahun 2000-an di wilayah Darfur.
Saat itu milisi ini digunakan oleh pemerintah Presiden Omar al-Bashir yang telah lama berkuasa untuk membantu tentara memadamkan pemberontakan kala itu.
Diperkirakan 2,5 juta orang mengungsi dan 300.000 tewas dalam konflik tersebut.
Jaksa Pengadilan Pidana Internasional menuduh pejabat pemerintah dan komandan janjaweed melakukan genosida, kejahatan perang, dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Darfur.
3. Seiring terus bertumbuhnya pasukan milisi kemudian digunakan sebagai tentara pasukan penjaga perbatasan khususnya untuk menekan migrasi.
Bersamaan dengan itu, RSF dipakai Hemedti terjun ke bisnis dengan bantuan Bashir dan keluarganya memperluas kepemilikan di bidang pertambangan emas, peternakan, dan infrastruktur.
Mulai tahun 2015, RSF bersama dengan tentara Sudan, mulai mengirim pasukan untuk berperang di Yaman bersama pasukan Saudi dan Emirat, memungkinkan Hemedti menjalin hubungan dengan kekuatan Teluk.
4. Pada 2017, undang-undang yang melegitimasi RSF sebagai pasukan keamanan independen disahkan.
Sumber-sumber militer menyebutkan pimpinan Angkatan Darat sudah lama menyatakan keprihatinannya terhadap perkembangan pasukan Hemedti ini.
Baca juga: Apa yang Terjadi di Sudan? Ini Fakta-fakta Pertempuran antara Tentara Reguler dengan Paramiliter
5. Pada April 2019, RSF berpartisipasi dalam kudeta militer yang menggulingkan Bashir.
Belakangan Hemedti menandatangani perjanjian pembagian kekuasaan yang menjadikannya wakil dewan penguasa yang dipimpin oleh jenderal angkatan darat Abdel Fattah al-Burhan.
6. Sebelum penandatanganan tahun 2019, para aktivis menuduh RSF ikut serta membunuh puluhan pengunjuk rasa prodemokrasi.
Kelompok HAM juga menuduh tentara RSF melakukan kekerasan suku.
Hemedti menghapus kekebalan dari beberapa orang, memungkinkan penuntutan mereka.
Tahun lalu dia meminta maaf atas kejahatan negara terhadap rakyat Sudan, tanpa menjelaskan lebih lanjut.
7. RSF berpartisipasi dalam kudeta pada Oktober 2021 yang menghentikan transisi ke pemilu.
Hemedti sejak itu menyesali kudeta tersebut dan telah menyatakan persetujuan untuk kesepakatan baru untuk memulihkan pemerintahan sipil penuh.
8. Tentara Sudan serta kelompok pro-demokrasi kemudian menuntut RSF dibubarkan dan bergabung ke dalam angkatan bersenjata reguler Sudan.
Negosiasi mengenai hal ini telah menjadi sumber ketegangan yang menunda penandatanganan akhir kesepakatan, yang semula dijadwalkan pada 1 April, untuk pemerintahan baru dan transisi menuju pemilu.
Hal inilah kemudian menjadi salah satu pemicu terjadinya perang saudara di Sudan dan terjadi saat pemilu di negara itu.
Hingga berita ini diturunkan perang saudara antara tentara reguler dengan RSF di Sudan masih terjadi dan kedua pihak mengklaim menguasai lokasi vital seperti bandara udara, stasiun TV, dan istana presiden.
Menurut pantauan Associated Press di Khartoum, suara-suara tembakan terdengar dari berbagai penjuru kota, termasuk pusat kota dan kawasan Bahri.
Militer dilaporkan sampai menerjunkan jet tempur untuk pertempuran ini.
Hingga saat ini 25 orang meninggal dunia dalam perang suadara itu.
Jumlah korban diperkirakan terus bertambah sementara warga sipil mengungsi ke tempat yang lebih aman.