Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Kekerasan Terus Terjadi di Sudan Meski ada Gencatan Senjata, 61 Tewas Termasuk Pekerja PBB

Warga Sudan terus melihat kekerasan terjadi meski sudah disetujui gencatan senjata selama 3 jam untuk membuka jalur evakuasi dan kemanusiaan.

Penulis: Tiara Shelavie
Editor: bunga pradipta p
zoom-in Kekerasan Terus Terjadi di Sudan Meski ada Gencatan Senjata, 61 Tewas Termasuk Pekerja PBB
AFP
Warga Sudan menyapa tentara, yang setia kepada panglima militer Abdel Fattah al-Burhan, di kota Laut Merah Port Sudan pada 16 April 2023. Warga Sudan terus melihat kekerasan terjadi meski sudah disetujui gencatan senjata selama 3 jam untuk membuka jalur evakuasi dan kemanusiaan. 

TRIBUNNEWS.COM - Pertempuran terus berkecamuk di ibu kota Sudan pada hari Minggu (16/4/2023) meski sudah disepakati adanya gencatan senjata kemanusiaan selama tiga jam.

Dilansir Daily Mail, dua pihak yang bertikai, Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) dan kelompok paramiliter Rapid Support Forces (RSF) sebelumnya setuju untuk melakukan gencatan senjata.

Pertempuran akan dihentikan setiap hari antara pukul 16:00 dan 19:00 mulai Minggu.

Rencana gencatan senjata tersebut bertujuan dilakukannya evakuasi warga yang terluka dan memberikan bantuan vital ke tempat yang paling membutuhkan.

Gencatan senjata diusulkan oleh PBB setelah tiga stafnya menjadi korban.

Setidaknya 61 warga sipil termasuk tiga staf PBB tewas sejak Sabtu, membuat Program Pangan Dunia PBB untuk sementara menghentikan operasi.

Baca juga: Mengenal RSF, Pasukan Paramiliter yang Lawan Tentara Sudan hingga Terjadi Perang Saudara

Kedua belah pihak yang bertikai mendukung perjanjian perdamaian bergulir yang diusulkan PBB, tetapi para saksi melaporkan kekerasan terus berlanjut.

BERITA REKOMENDASI

Tank-tank berjalan melalui ibu kota Khartoum dan jet berterbangan saat pemerintah tampaknya mengambil alih kota.

Tahani Abass, seorang aktivis HAM terkemuka, mengatakan 'pertempuran belum berhenti' dari rumah keluarganya yang dekat dengan markas militer.

"Mereka menembak satu sama lain di jalan-jalan."

"Ini perang habis-habisan di daerah pemukiman," katanya.

Setidaknya 670 orang dilaporkan terluka pada Minggu malam.


Latar Belakang Konflik

Masih mengutip Daily Mail, konflik di Sudan terjadi adalah antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) milik pemerintah dan paramiliter Rapid Support Forces (RSF), milisi yang sebelumnya digunakan pemerintah untuk mengatasi konflik di dalam dan luar negeri.

Komandan paramiliter RSF Sudan, Jenderal Mohamed Hamdan Daglo atau Hemedti (kiri) dan Panglima Angkatan Darat Sudan Abdel Fattah al-Burhan
Komandan paramiliter RSF Sudan, Jenderal Mohamed Hamdan Dagalo atau Hemedti (kiri) dan Panglima Angkatan Darat Sudan (SAF) Abdel Fattah al-Burhan (ASHRAF SHAZLY / AFP)

Baca juga: Apa yang Terjadi di Sudan? Ini Fakta-fakta Pertempuran antara Tentara Reguler dengan Paramiliter

Pemerintah Sudan dijalankan oleh dewan jenderal sejak kudeta pada Oktober 2021.

Pada Desember 2022, kelompok sipil yang dikesampingkan oleh kudeta menandatangani kesepakatan awal dengan militer untuk memulai transisi politik baru selama dua tahun dan menunjuk pemerintahan sipil.

Namun muncul perselisihan mengenai apakah tentara akan ditempatkan di bawah pengawasan sipil dalam pemerintahan baru, dan bagaimana RSF akan diintegrasikan ke dalam angkatan bersenjata.

Presiden de facto negara itu, Abdel Fattah al-Burhan, mengepalai angkatan bersenjata Sudan (SAF).

Saingannya, adalah Jenderal dan Wakil Ketua Dewan Kedaulatan Transisi yang berkuasa, Mohamed Hamdan Dagalo, kepala RSF yang memiliki pasukan sekitar 100.000 orang.

Dagalo ikut mengambil bagian dalam kudeta Sudan 2021 tetapi sejak itu menyebutnya sebagai 'kesalahan' menyusul bentrokan dengan Burhan.

Dagalo dan RSF masih berafiliasi dengan mantan presiden Omar al-Bashir, yang digulingkan pada 2019.

Pada 13 April 2023, ketika ketegangan meningkat, SAF memperingatkan bahwa mobilisasi RSF berisiko menimbulkan konflik.

Dua hari kemudian, pertempuran pecah saat personel RSF ditempatkan kembali di sekitar Sudan.

Kedua belah pihak saling menuduh memulai konflik, dan memberi isyarat bahwa mereka tidak mau bernegosiasi.

Pemerintah menyerukan agar RSF dibubarkan.

Sementara Dagalo meminta saingannya untuk menyerah.

Asap tebal mengepul di atas gedung-gedung di sekitar bandara Khartoum pada 15 April 2023, di tengah bentrokan di ibu kota Sudan. Ledakan mengguncang ibu kota Sudan pada 15 April ketika paramiliter dan tentara reguler saling menyerang pangkalan satu sama lain, beberapa hari setelah tentara memperingatkan negara itu berada pada titik balik yang
Asap tebal mengepul di atas gedung-gedung di sekitar bandara Khartoum pada 15 April 2023, di tengah bentrokan di ibu kota Sudan. (AFP)

Para diplomat top, termasuk Sekretaris Negara AS, sekretaris jenderal PBB, kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa, ketua Liga Arab dan ketua Komisi Uni Afrika mendesak kedua pihak untuk berhenti berperang.

Negara-negara Arab yang memiliki kepentingan di Sudan - Qatar, Mesir, Arab Saudi, dan Uni Emirat Arab - juga menyerukan gencatan senjata dan kedua belah pihak kembali ke negosiasi.

Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan dia berkonsultasi dengan menteri luar negeri Arab Saudi dan Uni Emirat Arab.

"Kami sepakat penting bagi pihak-pihak untuk segera mengakhiri permusuhan tanpa prasyarat," katanya dalam sebuah pernyataan Minggu pagi.

Kementerian luar negeri Prancis mengatakan dalam sebuah pernyataan:

"Paris mengulangi seruannya untuk melakukan segala upaya untuk menghentikan pertempuran dan mencegah eskalasi apapun."

Blok Regional Afrika Otoritas Pembangunan Antarpemerintah (IGAD) berencana untuk mengirim presiden Kenya, Sudan Selatan dan Djibouti sesegera mungkin untuk mendamaikan kelompok-kelompok Sudan yang berkonflik, kata kantor Presiden Kenya William Ruto di Twitter.

Tentang Sudan

Sudan sudah terlibat dalam konflik terus-menerus sejak mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 1955, yang diakui secara internasional pada 1 Januari 1956.

Di utara, Sudan didominasi umat Muslim dan berbahasa Arab.

Sedangkan di selatan, masyarakat terdiri dari multi-agama dan multi-bahasa.

Wilayah itu diperintah sebagai dua Sudan yang terpisah yang untuk sebagian besar waktu berada di bawah pemerintahan Inggris.

Inggris dan Mesir bekerja sama dalam administrasi negara selama periode kolonial (1899-1856).

Dorongan modernisasi besar-besaran dilakukan di utara sementara selatan dan barat sebagian besar diabaikan.

Elit utara sejak itu bentrok dengan kelompok-kelompok di Darfur, di barat, dan selatan, yang mencari kemerdekaan untuk dirinya sendiri pada tahun 2011.

Perwira tentara di selatan memberontak tahun itu, menganggap elit utara telah mengingkari janji yang dibuat selama tawaran kemerdekaan.

Hal itu berujung perang saudara yang panjang yang menewaskan setengah juta orang selama 17 tahun.

Proses perdamaian tahun 1972 gagal untuk mengatasi ketegangan mendasar antara kelompok, yang menyebabkan Perang Saudara Sudan Kedua dari tahun 1983 hingga 2005.

Selatan yang mendapat manfaat dari penemuan minyak pada tahun 1978, mengekspor barel dari tahun 1999 dan akhirnya mendeklarasikan kemerdekaan pada tahun 2011.

Sementara selatan menjauh dari elite utara, kelompok-kelompok di barat masih mengalami marginalisasi.

Sekitar 300.000 tewas dalam serangan di desa-desa hanya dalam lima tahun pertama, perkiraan PBB.

Wilayah itu masih bergejolak, dengan bentrokan yang sedang berlangsung di bagian barat negara itu.

Sejak itu, RSF - didirikan pada 2013 - berada di bawah kendali Badan Intelijen dan Keamanan Nasional Sudan (NISS).

NISS bertanggung jawab kepada mantan presiden Omar al-Bashir, yang telah memerintah sejak 1989, sebelum dia digulingkan pada 2019 akibat protes atas kesulitan ekonomi.

Para jenderal yang melakukan kudeta mendirikan Dewan Militer Transisi yang hingga kini masih mengelola Sudan.

(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas