'Perang Bintang' Kian Memanas, Duta Besar Uni Eropa Jadi Target Serangan di Sudan
Duta Besar Uni Eropa untuk Sudan diserang di tengah bentrokan lanjutan yang terjadi antara militer Sudan dan RFS.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, KHARTOUM - Duta Besar Uni Eropa (UE) untuk Sudan diserang pada Senin (17/4/2023) waktu setempat, di tengah bentrokan lanjutan yang terjadi antara militer negara itu dan kelompok paramiliter yang berpengaruh, Rapid Support Forces (RSF).
Pernyataan ini disampaikan diplomat tinggi UE, Josep Borrell dalam cuitannya di Twitter.
Dikutip dari laman Russia Today, Selasa (18/4/2023), Duta Besar tersebut 'diserang di kediamannya sendiri'.
Namun Borrell tidak mengungkapkan rincian terkait insiden itu, tidak menyebutkan kekuatan di balik serangan tersebut dam belum jelas apakah Duta Besar UE terluka dalam serangan.
Baca juga: Update Perang Saudara Sudan: 97 Orang Tewas dan 365 Terluka, PBB Minta Gencatan Senjata
Borrell mengecam insiden itu sebagai 'pelanggaran berat terhadap Konvensi Wina' dan berargumen bahwa keamanan misi diplomatik adalah tanggung jawab utama negara tuan rumah di bawah hukum internasional.
Kira-kira dua jam sebelumnya, ia mengatakan dalam postingan lainnya di Twitter bahwa blok itu 'akan membujuk masing-masing pihak mempertimbangkan jeda kemanusiaan dan mendorong dialog'.
"Warga sipil Sudan 'sangat membutuhkan gencatan senjata'," tegas Borrell.
Sebelumnya pada Senin kemarin, Al Arabiya melaporkan bahwa kendaraan Kedutaan Amerika Serikat (AS) juga diserang di Sudan.
Sumber kedutaan tersebut mengatakan kepada media bahwa pejuang RSF menembaki kendaraan lapis baja kedutaan.
"Mobil AS itu menjadi sasaran 'sengaja', sekitar 100 peluru ditembakkan ke arahnya. Tidak ada yang terluka dalam insiden itu," kata Al Arabiya.
Bentrokan di Sudan pecah pada Sabtu (15/4/2023) lalu di tengah perebutan kekuasaan yang berlanjut antara Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) Jenderal Abdel Fattah al-Burhan dan RSF yang dipimpin oleh wakilnya, Mohamed Hamdan Daglo.
Jenderal Burhan secara de facto memimpin pemerintahan sementara negara itu sejak penguasa lama Sudan, Omar Al-Bashir digulingkan dalam kudeta pada 2019.
Menurut otoritas medis Sudan, negara itu telah menyaksikan tembakan dan pemboman hebat selama beberapa hari terakhir, yang telah menyebabkan kematian sedikitnya 97 warga sipil dan menyebabkan 365 lainnya terluka.
Tiga karyawan Program Pangan Dunia Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) termasuk di antara mereka yang tewas dalam aksi kekerasan tersebut, memaksa organisasi tersebut menghentikan operasinya untuk sementara waktu di Sudan.
Seruan untuk gencatan senjata dari komunitas internasional pun telah meningkat karena kekerasan di ibu kota Sudan, Khartoum telah berkecamuk.
Pada Senin kemarin, AS dan Inggris bergabung untuk mendesak kembalinya negosiasi di Khartoum.
Rusia sebelumnya menyuarakan keprihatinan tentang situasi di Sudan dan telah mendorong 'pihak-pihak yang berkonflik untuk menunjukkan kemauan politik dan menahan diri serta mengambil tindakan cepat untuk menghentikan tembakan'.
Para pemimpin dari Afrika Timur dilaporkan mengadakan sesi pertemuan virtual darurat dan mendesak penghentian segera permusuhan antara pihak-pihak yang berkonflik.
Mesir juga menawarkan dirinya sebagai mediator dalam konflik tersebut.