Bentrokan Berlanjut di Darfur Barat, Krisis Makanan dan Air di Sudan pun Kian Memburuk
Pertempuran antara militer Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) berlanjut Jumat kemarin, berjam-jam setelah gencatan senjata terbaru.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Johnson Simanjuntak
TRIBUNNEWS.COM, KHARTOUM - Pertempuran antara militer Sudan dan Pasukan Dukungan Cepat (RSF) berlanjut Jumat kemarin, berjam-jam setelah gencatan senjata terbaru.
Pernyataan ini disampaikan saksi mata di negara itu.
Dikutip dari laman CNN, Sabtu (29/4/2023), para pejabat setempat memperingatkan bahwa banyak orang yang telah tewas dalam 'bentrokan etnis yang mematikan' di ibu kota Darfur Barat, El Geneina sejak awal minggu ini.
Situasi di seluruh Sudan saat ini telah memburuk, negara itu kekurangan pasokan air dan makanan pokok, laporan penjarahan pun kian meluas, dengan rumah sakit menjadi sasaran.
"Konflik tersebut telah menyebabkan lebih dari 50.000 orang melarikan diri dari Sudan ke Chad, Mesir, Sudan Selatan, dan Republik Afrika Tengah," kata Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB), pada Jumat kemarin.
Sebelumnya, Angkatan Bersenjata Sudan yang dipimpin oleh Abdel Fattah al-Burhan dan kelompok paramiliter RSF yang dipimpin oleh Mohamed Hamdan Dagalo pada Kamis lalu setuju untuk memperpanjang gencatan senjata yang sedang berlangsung selama 72 jam.
Namun kekerasan terus mengguncang Darfur yang bergolak, tempat perang antara pemberontak dan pasukan pemerintah yang didukung oleh milisi merenggut hampir 300.000 nyawa pada awal 2000-an.
Menurut Pendiri Jaringan Pemantauan dan Dokumentasi Darfur, Ahmed Gouja yang berbicara dari Nyala di Darfur Selatan, pertempuran baru-baru ini yang terkonsentrasi di El Geneina terjadi antara milisi Arab dan warga sipil.
"Warga sipil setempat telah mempersenjatai diri dengan senjata dari markas kantor polisi kota," kata Gouja.
Dalam sebuah laporan pada Rabu lalu, kantor kemanusiaan PBB OCHA menggambarkan situasi di El Geneina berubah menjadi kekacauan dengan 'bentrokan, penjarahan dan pembakaran rumah' yang dilaporkan terjadi di selatan kota.
Warga sipil pun dilaporkan tewas dan mengungsi akibat kekerasan tersebut.
"Pasar dilaporkan telah dijarah, begitu juga dengan beberapa bangunan organisasi kemanusiaan. Sebagian besar pusat kesehatan bahkan tidak berfungsi," kata OCHA.
Kantor Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (OHCHR) mengatakan pada Jumat lalu bahwa setidaknya 96 orang telah tewas sejak Senin lalu dalam 'bentrokan etnis yang mematikan' di El Geneina.
Juru bicara OHCHR Ravina Shamdasani memperingatkan bahwa ada risiko serius kekerasan meningkat di Darfur Barat, karena permusuhan antara Pasukan Dukungan Cepat (RSF) dan Angkatan Bersenjata Sudan (SAF) telah memicu kekerasan antarkomunal.
"Korban tewas mungkin jauh lebih tinggi," kata Shamdasani, mengingat sulitnya mengumpulkan informasi saat ini.
Shamsadani mengatakan telah terjadi 'bentrokan sporadis antara komunitas Arab dan Massalit' di Darfur Barat, dan kekerasan antarkomunal seperti itu 'berasal dari afiliasi etnis nyata RSF dan SAF'.
"Lingkungan saat ini di Sudan menciptakan situasi yang matang untuk kekerasan lebih lanjut dan kekerasan kriminal oportunistik, ketegangan etnis yang sudah berlangsung lama mungkin akan kembali terjadi," tegas Shamsadani.
Di ibu kota Sudan, Khartoum, saksi mata mengatakan bahwa beberapa jam menjelang gencatan senjata terakhir pada Jumat kemarin, pertempuran antara angkatan bersenjata dan RSF terdengar, dengan baku tembak hebat terjadi di dekat Istana Kepresidenan di pusat kota.
Warga Khartoum, Al-Jamil Al-Fadil mengatakan bahwa proyektil jatuh di lingkungan itu.
"Di daerah Kafouri di utara kota, di udara, pesawat tempur diserang rudal anti-pesawat," kata Al-Jamil.
RSF mengklaim pada Jumat kemarin bahwa mereka menguasai lebih dari 90 persen negara bagian Khartoum yang merupakan negara bagian terpadat di Sudan, dengan sekitar 8 juta orang.
Kedua faksi juga saling tuduh melakukan pelanggaran.
Angkatan Bersenjata Sudan mengatakan RSF menargetkan pensiunan perwira militer dan polisi, sementara RSF menuding Angkatan Bersenjata Sudan menyerang posisinya saat gencatan senjata.
"Sebuah pesawat evakuasi Turki C130 ditembak di atas langit Sudan pada Jumat pagi, namun kemudian mendarat dengan selamat tanpa cedera," Kementerian Pertahanan Turki di Twitter.
Baca juga: Kisah Pelajar Indonesia di Sudan Dievakuasi: Tempuh Perjalanan Darat 16 Jam dan Jalur Laut 20 jam
Terkait hal ini, Angkatan Bersenjata Sudan menuduh RSF menembak dan merusak pesawat itu saat bersiap mendarat di bandara Wadi Seyidna utara Khartoum.
Namun RSF membantah tuduhan itu dengan mengatakan mereka tidak menguasai daerah tersebut.