Untuk Keempat Kalinya, Komisi Kebebasan Beragama AS Kembali Rekomendasikan India Masuk Daftar Hitam
Badan kebebasan beragama di AS kembali merekomendasikan India masuk daftar hitam "negara yang menjadi perhatian khusus" atau CPC untuk keempat kalinya
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Endra Kurniawan

TRIBUNNEWS.COM - Untuk keempat kalinya selama empat tahun berturut-turut, sebuah komisi independen di Amerika Serikat merekomendasikan India untuk masuk ke dalam daftar hitam kebebasan beragama.
Dilansir AlJazeera, Komisi Amerika Serikat untuk Kebebasan Beragama Internasional atau USCIRF, menyebut kondisi pemeluk agama minoritas di India memburuk sepanjang tahun 2022.
Dalam laporan tahunannya pada hari Senin (1/5/2023), USCIRF kembali meminta Departemen Luar Negeri AS untuk melabeli India sebagai "negara yang menjadi perhatian khusus" atau CPC (Country of Particular Concern).
Organisasi independen tersebut telah mengajukan permintaan tersebut sejak 2020.
USCIRF menuduh pemerintah India melakukan pelanggaran sistematis, berkelanjutan dan mengerikan terhadap kebebasan beragama.
Badan tersebut mengatakan bahwa pemerintah India mempromosikan dan menegakkan kebijakan diskriminatif agama baik di tingkat nasional, negara bagian, dan lokal pada tahun 2022.
Baca juga: Investor Global Kini Getol Tenamkan Modal di India, China Mulai Ditinggalkan?
Kebijakan diskriminatif itu termasuk undang-undang yang menargetkan pindah agama, hubungan antaragama, pemakaian jilbab dan penyembelihan sapi, yang berdampak negatif terhadap umat Islam, Kristen, Sikh, Dalit dan Adivasis (masyarakat adat).
Laporan tersebut mencatat bahwa sekitar 14 persen dari 1,4 miliar penduduk India adalah Muslim, sekitar 2 persen Kristen, dan 1,7 persen Sikh.
Hampir 80 persen dari negara adalah Hindu.
USCIRF lebih lanjut menegaskan bahwa pemerintah India, yang dipimpin oleh Partai Bharatiya Janata (BJP) Narendra Modi, terus menekan suara-suara kritis, terutama agama minoritas dan mereka yang mengadvokasi atas nama mereka.
USCIRF hanya menawarkan rekomendasi dan tidak memiliki kemampuan untuk menetapkan kebijakan.
Hanya ada sedikit harapan Departemen Luar Negeri akan mendukung komisi tersebut, karena Washington dan New Dehli terus memperkuat hubungan mereka dalam upaya melawan pengaruh China di kawasan Indo-Pasifik.
Dalam laporannya, USCIRF juga menyebut pemerintahan Presiden AS Joe Biden "gagal menetapkan India" sebagai negara CPC setelah membuat rekomendasi serupa di tahun-tahun sebelumnya.
“Amerika Serikat dan India terus mempertahankan hubungan bilateral yang kuat seputar perdagangan ekonomi dan teknologi."
"Perdagangan mencapai $120 miliar pada tahun 2022, menjadikan Amerika Serikat sebagai mitra dagang terbesar India,” kata laporan itu.
“Presiden Joe Biden dan Perdana Menteri Narendra Modi berinteraksi dalam beberapa kesempatan, termasuk KTT G20 dan G7 serta KTT Empat Pemimpin (Quad Leaders),” tambahnya.
KTT Empat Pemimpin adalah kelompok informal antara AS, India, Jepang, dan Australia.

Baca juga: India Jadi Negara dengan Populasi Terbanyak Kalahkan China, Pakar Ungkap Bagaimana Memanfaatkannya
Pemerintah India belum menanggapi laporan terbaru dari USCIRF.
Dari rekomendasi tahun lalu, juru bicara kementerian luar negeri New Delhi Arindam Bagchi menuduh pejabat senior AS membuat komentar yang “kurang informasi” dan “bias”.
“Sebagai masyarakat pluralistik alami, India menghargai kebebasan beragama dan hak asasi manusia,” kata Bagchi dalam sebuah pernyataan saat itu.
Sementara itu, Dewan Muslim Amerika India mengatakan laporan USCIRF terbaru menegaskan kembali apa yang kelompok hak asasi telah katakan selama bertahun-tahun: bahwa pemerintah India, di bawah Perdana Menteri Narendra Modi terus menerus melanggar kebebasan beragama komunitas minoritas, khususnya Muslim dan Kristen.
Negara Lainnya yang Direkomendasikan untuk di-Blacklist
Selain India, USCIRF juga meminta pemerintahan AS untuk menambahkan Afghanistan, Nigeria, Suriah, dan Vietnam ke daftar hitamnya, serta untuk penunjukan ulang Myanmar, China, Kuba, Eritrea, Iran, Nikaragua, Korea Utara, Pakistan, Rusia, Arab Saudi, Tajikistan, dan Tajikistan, dan Turkmenistan.
USCIRF pertama kali membuat rekomendasi untuk Afghanistan tahun lalu, setelah Taliban mengambil alih negara itu pada Agustus 2021.
Afghanistan telah lama berada dalam daftar pantauan USCIRF.
Taliban sendiri telah ditetapkan sebagai "perhatian khusus" atau CPC di beberapa laporan awal USCIRF dari tahun 2000 dan 2001.
USCIRF mengatakan Taliban “melanggar kebebasan beragama atau berkeyakinan agama minoritas; wanita; anggota komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender, queer, dan interseks (LGBTQI+); dan Afghanistan dengan interpretasi yang berbeda tentang Islam”.

Baca juga: Taliban Bunuh Pemimpin ISIS-K yang Rencanakan Serangan Bom Bunuh Diri di Bandara Kabul
Di Nigeria, laporan USCIRF berfokus pada beberapa tuduhan penistaan agama pada tahun 2022 serta kekerasan massa terkait tuduhan penistaan agama.
Tercatat bahwa pemerintahan Joe Biden tidak mengindahkan rekomendasi serupa yang dibuat tahun lalu, meskipun Nigeria sempat ditetapkan sebagai negara CPC di bawah pemerintahan mantan Presiden Donald Trump tahun 2022.
Di Suriah, USCIRF menyoroti kekerasan pemerintah terhadap komunitas Druze di tengah perang saudara yang sedang berlangsung di negara itu.
Di Vietnam, USCIRF mengatakan, pihak berwenang mengintensifkan kontrol dan penganiayaan mereka terhadap kelompok agama, termasuk Protestan Montagnard dan Hmong, pengikut Cao Dai, Buddha Hoa Hao, Umat Buddha Bersatu, dan kelompok agama lain yang tidak terdaftar di pemerintah.
Keputusan Departemen Luar Negeri AS
Pada bulan Desember 2020, Departemen Luar Negeri AS menetapkan Burma, China, Eritrea, Iran, Nigeria, Korea Utara, Pakistan, Rusia, Arab Saudi, Suriah, Tajikistan, dan Turkmenistan sebagai Negara-negara dengan Perhatian Khusus (CPC) dan Afghanistan, Republik Afrika Tengah, Kuba, Mesir, Indonesia, Kazakstan, dan Nikaragua sebagai negara dalam Daftar Pantauan Khusus (SWL).
Pada November 2022, Departemen Luar Negeri AS menetapkan Burma (Myanmar), China, Kuba, Eritrea, Iran, Korea Utara, Nikaragua, Pakistan, Rusia, Arab Saudi, Tajikistan, dan Turkmenistan sebagai Negara-Negara dengan Perhatian Khusus (CPC) dan Aljazair, Afrika Tengah Republik, Komoro, dan Vietnam sebagai negara dalam Daftar Pantauan (SWL).
Entitas yang Menjadi Perhatian Khusus (CPC) termasuk Al-Shabaab, Boko Haram, Hayat Tahrir al-Sham, Houthi, ISIS-Sahel (sebelumnya dikenal sebagai ISIS-Sahara Raya), ISIS-Afrika Barat, Jama'at Nasr al-Islam wal Muslimin, Taliban, dan Grup Wagner berdasarkan tindakannya di Republik Afrika Tengah.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.