Profesor Yuying Tong: Keluarga tidak Lagi Menjadi Tujuan Terpenting Bagi Warga China
Profesor Yuying Tong menyebut keluarga tidak lagi menjadi tujuan terpenting yang menjadi fokus warga di sana'.
Penulis: Fitri Wulandari
Editor: Dewi Agustina
Laporan Wartawan Tribunnews, Fitri Wulandari
TRIBUNNEWS.COM, DALIAN - Keluarga kini bukan merupakan aspek paling penting dalam kehidupan sebagian besar masyarakat di China.
Jian Ma, pria berusia 49 tahun yang memiliki sebuah cafe di selatan Kota Dalian, China, pernah merasakan tekanan dari nilai-nilai tradisional tersebut.
Namun, pandangannya kini telah berubah.
"Saya sebelumnya telah berjanji kepada ayah saya sebelum ia meninggal bahwa saya akan memiliki anak di masa depan," kata Ma.
Baca juga: Tingkat Populasi Anjlok, China Luncurkan Proyek Pernikahan Era Baru dan Budaya Melahirkan
Namun ia dan istrinya kemudian memutuskan untuk tidak memiliki anak karena usia istrinya dan kondisi pribadinya.
Mereka juga merasa bisa melakukan 'perencanaan pensiun' secara berbeda.
"Saya punya dua rencana. Salah satunya adalah saya akan bermigrasi ke negara yang kesejahteraan sosialnya tinggi," kata Ma.
Sedangkan rencana lainnya adalah dirinya akan mendonasikan tabungannya ke panti jompo yang akan merawatnya kelak saat tua.
"(Rencana lainnya) adalah semua tabungan saya akan diberikan ke panti jompo untuk merawat saya di masa depan, atau seorang pengacara akan mengelolanya," jelas Ma.
Dikutip dari laman ABC News, Senin (22/5/2023), seorang sosiolog di Chinese University of Hong Kong, Profesor Yuying Tong mengatakan bahwa peningkatan pilihan untuk pensiun dan perbaikan dalam sistem sosial China berdampak pada tingkat kesuburan.
"Perkembangan jaminan sosial di China telah mengurangi ketergantungan orang pada keluarga saat usia mereka bertambah tua," kata Profesor Tong.
Baca juga: Angka Kelahiran Menurun, Banyak Warga China Kini Khawatir Punya Anak
Dengan perkembangan sosio-ekonomi yang dipengaruhi oleh budaya Barat, kata dia, 'keluarga tidak lagi menjadi tujuan terpenting yang menjadi fokus warga di sana'.
"(Banyak orang) merasa bahwa faktor 'memberi dan menerima' dalam hal membesarkan anak tidak lagi proporsional," tegas Profesor Tong.
Ma mengklaim kehidupan 'Penghasilan Ganda Tanpa Anak' (DINK) yang dijalaninya bersama sang istri merupakan pilihan yang 'sangat keren'.
"Jika saya punya anak, saya akan memberikan yang terbaik untuk mereka, namun itu akan menurunkan kualitas hidup saya. Umumnya, adalah hal yang baik jika saya membelanjakan (semua uang saya) sebelum saya mati," tegas Ma.
Menurut lembaga penelitian China Yuwa Population Research, biaya membesarkan anak di China adalah yang tertinggi kedua di dunia dan 3,3 kali lebih mahal daripada membesarkan anak di Australia.
Orang tua Tionghoa juga biasanya menghabiskan banyak uang untuk memasukkan anak mereka agar dapat mengikuti ekstrakurikuler.
Hal itu untuk memastikan agar pengetahuan anak mereka tidak tertinggal dari teman sebayanya dan membantu anak mereka yang telah dewasa dalam membayar biaya perumahan, mobil dan pernikahan.
Biaya membesarkan anak di China telah membuat banyak anak muda mendiskusikan masalah ini di media sosial.
Mereka bahkan menuliskan postingan seperti 'anak-anak adalah penghancur uang' dan 'harga rumah adalah pil kontrasepsi terbaik'.
Penduduk kota Beijing, Four Wang (42) dan istrinya melihat bahwa keputusan itu terlalu berisiko.
Bagi penduduk Beijing, Four Wang (42) dan istrinya yang menganut sistem DINK dalam hidup mereka, perubahan kebijakan China dan dorongan untuk tingkat kelahiran yang lebih tinggi tidak banyak mengubah pikiran mereka.
"Kebijakan negara terus berubah, saat saya lahir, memiliki anak kedua adalah pemberontakan dan hal yang ilegal. Saya tidak tahu kebijakan seperti apa yang akan diberlakukan saat usia saya semakin tua," kata Wang.