Penderitaan Imigran Sub-Sahara Afrika, Mati Kehausan Sampai Meminum Air Kencing Sendiri
Para imigran dari sub-Sahara Afrika mengungkapkan kengerian mereka dipaksa kembali ke gurun terpecil yang sama sekali tak ada air.
Editor: Hendra Gunawan
TRIBUNNEWS.COM – Para imigran dari sub-Sahara Afrika mengungkapkan kengerian mereka dipaksa kembali ke gurun terpecil yang sama sekali tak ada air.
Sebagian mereka bahkan dilaporkan meninggal dunia karena kehausan saat berusaha melintasi perbatasan ke Tunisia.
Ketika Uni Eropa bersiap mengirim uang ke Tunisia berdasarkan kesepakatan migrasi senilai 1 miliar Euro kelompok hak asasi manusia mendesak Brussel untuk mengambil tindakan lebih keras terhadap tuduhan bahwa pihak berwenang Tunisia telah mendorong orang kembali ke daerah perbatasan yang sepi, yang seringkali berakibat fatal.
Baca juga: Tahun 2024, Jerman Kurangi Separuh Bantuan untuk Pengungsi
Dikutip dari The Guardian, seorang imigran, Michael, 38, dari Kota Benin, Nigeria, mengatakan aparat Tunisia mendorong para pengungsi tersebut kembali ke gurun sebanyak tiga kali, terakhir kali pada akhir bulan Juli.
“Penjaga perbatasan Tunisia memukuli kami, mencuri uang dan ponsel kami. Di gurun kami tidak punya air. Saya harus meminum air kencing saya sendiri untuk bertahan hidup.”
Menurut seorang pejabat dari sebuah organisasi antar pemerintah besar, pihak berwenang Tunisia merelokasi lebih dari 4.000 orang pada bulan Juli saja ke zona penyangga militer di perbatasan dengan Libya dan Aljazair.
“Sekitar 1.200 orang diusir kembali ke perbatasan Libya pada minggu pertama bulan Juli saja,” kata sumber tersebut, yang berbicara tanpa mau disebutkan namanya. Pada akhir Agustus, sumber itu menambahkan, organisasi mereka mengetahui adanya tujuh orang yang meninggal karena kehausan setelah didorong kembali.
Sebuah LSM yang menangani pengungsi memperkirakan jumlah pengungsi antara 50 dan 70 orang. The Guardian tidak dapat memverifikasi angka tersebut secara independen.
Klaim baru ini sangat kontras dengan gambaran yang dibuat bulan lalu oleh Menteri Dalam Negeri Tunisia, Kamel Fekih, yang mengakui bahwa “kelompok kecil yang terdiri dari enam hingga 12 orang” ditolak, namun membantah adanya penganiayaan atau bentuk “deportasi kolektif”.
Hal ini kemungkinan akan meningkatkan tekanan pada anggota parlemen Eropa untuk menyampaikan keprihatinan mengenai hak asasi manusia kepada pihak berwenang Tunisia seiring mereka mendorong tercapainya kesepakatan yang bertujuan membendung migrasi tidak teratur. Perjanjian tersebut semakin mendapat kecaman, dimana Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock, pekan lalu mengatakan hak asasi manusia dan supremasi hukum tidak “diberikan pertimbangan yang tepat”.
Baca juga: Fasilitas Hotel Pestana CR7 Marrakesh Milik Ronaldo, Jadi Tempat Pengungsi Gempa Maroko
Dalam serangkaian wawancara yang dilakukan dengan hampir 50 migran di Sfax, Zarzis, Medenine dan Tunis, mayoritas migran membenarkan bahwa mereka telah dipulangkan secara paksa ke gurun antara akhir Juni dan akhir Juli.
“Pada awal Juli, polisi Tunisia menangkap kami di Sfax,'' kata Salma, seorang wanita Nigeria berusia 28 tahun.
“Saya dan putra saya yang berusia dua tahun dibawa oleh beberapa polisi dan didorong kembali ke gurun di perbatasan Libya. Suami saya ditangkap oleh penjaga perbatasan lainnya dan saya tidak tahu apa yang terjadi padanya. Saya belum mendengar kabar darinya sejak saat itu karena ketika mereka mendorong kami kembali, saya kehilangan ponsel saya.”
The Guardian juga berbicara dengan Pato Crepin, seorang warga Kamerun yang istri dan putrinya, Fati Dosso dan Marie yang berusia enam tahun, meninggal pada pertengahan Juli di daerah terpencil di gurun Libya setelah diusir kembali oleh pihak berwenang Tunisia.