Gempa Afghanistan, Upaya Penyelamatan Berpacu dengan Waktu, Banyak Korban Terkubur Reruntuhan
Tim SAR dan relawan berpacu dengan waktu untuk meggali korban selamat dan jenazah di daerah yang paling parah terkena dampak gempa.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Afghanistan masih melakukan upaya penyelamatan untuk mengevakuasi korban yang tertimbun reruntuhan gempa pada Sabtu (7/10/2023) kemarin.
Tim SAR dan relawan pun berpacu dengan waktu.
Tantangan proses penyelamatan diperberat dengan seringnya gempa susulan.
Dalam dua hari terakhir, tim SAR terus berjuang menemukan korban selamat.
Mereka mengerahkan segala upaya yang bisa dilakukan untuk menemukan korban.
Baik korban selamat maupun korban meninggal di daerah yang paling parah terkena gempa.
"Operasi pencarian dan penyelamatan masih berlangsung, jumlah pasti korban serta rumah, bangunan yang hancur masih belum sepenuhnya bisa dikonfirmasi," kata pejabat Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) kepada Al Jazeera.
"Tantangan geografis di daerah terpencil dan gempa susulan yang terus-menerus menghambat operasi ini," kata pejabat WHO.
Baca juga: PBB dan Sejumlah Negara Tawarkan Bantuan Kemanusiaan untuk Korban Gempa di Afghanistan
Kepala delegasi Federasi Internasional Masyarakat Palang Merah dan Bulan Sabit Merah (IFRC), Necephor Mghendi mengatakan petugas penyelamat menggunakan barang-barang seadaanya untuk menemukan korban.
"Mereka tidak mempunyai peralatan yang canggih dan hal ini memperlambat upaya tersebut,” kata Mghendi.
Jumlah Korban Gempa Afghanistan
Sebelumnya diberitakan, Provinsi Herat, Afghanistan diguncang gempa 6,3 skala Ritcher pada Sabtu (7/10/2023).
Juru bicara Kementerian Kebencanaan Afghanistan, Mullah Janan Sayeeq mengatakan, korban tewas mencapai lebih dari 2.445 orang.
Jumlah korban luka menjadi lebih dari 2.000 orang.
"Sebanyak 1.320 rumah mengalami kerusakan atau hancur," kata Sayeeq dalam sebuah pernyataan, Minggu (8/10/2023).
Sabir mengatakan jumlah korban sebenarnya mungkin lebih tinggi.
“Kami masih belum mengetahui jumlah korban jiwa karena sebagian besar orang – baik hidup maupun mati – masih terkubur di bawah puing-puing,” katanya.
Sementara, Kementerian Kesehatan Masyarakat Taliban melaporkan lebih dari 2.500 orang dipastikan tewas di 21 desa.
Jumlah korban dikhawatirkan akan ada lebih banyak lagi.
Baca juga: Gempa di Afghanistan, Orang-orang Gali Reruntuhan dengan Tangan Kosong
Afghanistan Hancur Total
Kantor Koordinasi Urusan Kemanusiaan PBB (OCHA) mengatakan, 100 persen rumah penduduk hancur total di distrik Zandehjan.
OCHA melaporkan 1.023 orang tewas dan 1.663 orang terluka di distrik tersebut.
Organisasi dan pekerja bantuan di ibu kota wilayah Herat mengatakan kepada Al Jazeera bahwa kemungkinan jumlah korban jauh lebih tinggi.
“Kami sudah tidak bisa menghitung lagi,” kata seorang relawan penyelamat.
“Selalu ada perbedaan ketika mengeluarkan angka untuk peristiwa sebesar ini karena verifikasinya sulit dilakukan," kata Mghendi.
"Kami yakin jumlahnya akan meningkat secara dramatis seiring kami menyelamatkan mereka yang masih terjebak,” terangnya.
Akses Layanan Medis
Para pejabat WHO memperingatkan, kurangnya akses terhadap layanan medis merupakan kekhawatiran utama dalam upaya penyelamatan ini.
"Palang Merah juga mengakui ada kebutuhan mendesak akan layanan darurat, serta kebutuhan dasar lainnya," kata Mghendi.
Selain itu, tempat berlindung yang aman adalah masalah yang paling mendesak.
Kurangnya Dukungan Internasional
Terlepas dari skala tragedi yang terjadi, hanya ada sedikit dukungan atau bantuan internasional yang ditujukan kepada Afghanistan.
Sejak berada di bawah pemerintahan Taliban, Afghanistan semakin terisolasi secara politik.
Negara ini sudah menghadapi krisis kemanusiaan karena berkurangnya bantuan luar negeri secara signifikan dari negara-negara Barat sejak pengambilalihan Taliban pada tahun 2021.
Layanan darurat sangat terkena dampaknya.
Baca juga: Korban Tewas Akibat Gempa Bumi di Afghanistan Kini Mencapai 2.445 Orang
Organisasi-organisasi kemanusiaan yang bekerja di Herat juga khawatir dengan musim dingin yang semakin dekat.
Seorang petani bernama Ahmad, yang telah kehilangan rumah dan mata pencahariannya mengaku tidak punya atap untuk tidur dan cuaca semakin dingin.
Anggota keluarganya kedingingan, tetapi tidak ada yang bisa menolong.
“Kami butuh bantuan,” pintanya.
(Tribunnews.com/Andari Wulan Nugrahani)