Korban Genosida Israel di Gaza Capai 10.022 Orang, Termasuk 4.104 Anak-anak dan 2.641 Perempuan
Hingga 5 November 2023, korban genosida Israel di Gaza mencapai 10.022 orang. Jumlah tersebut termasuk 4.104 anak-anak.
Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Nanda Lusiana Saputri
TRIBUNNEWS.com - Jumlah warga Gaza, Palestina, yang menjadi korban genosida Israel terus meningkat.
Hingga 5 November 2023, setidaknya ada 10.022 warga Gaza yang tewas akibat serangan Israel tanpa henti sejak 7 Oktober lalu.
Jumlah itu termasuk 4.140 anak-anak dan 2.641 perempuan.
Dikutip dari AlJazeera, jumlah korban luka di Gaza juga tak kalah meningkat.
Sebanyak 25.408 korban luka, termasuk 6.360 anak-anak dan 4.891 perempuan.
Baca juga: Daftar Produk Israel dan Pendukung Zionis dalam Genosida di Gaza Palestina, Kini Diboikot
Jumlah tersebut diperkirakan terus meningkat mengingat banyak korban masih terjebak di reruntuhan.
"Jumlah (korban tewas) diperkirakan akan meningkat karena setidaknya 2.000 orang masih tertimbun reruntuhan."
"Masalahnya adalah dengan kurangnya alat berat dan mesin, tim penyelamat di lapangan tidak dapat mengeluarkan jasad para korban dari bawah reruntuhan," lapor koresponden AlJazeera, Hani Mahmoud, dari Khan Younis di Gaza selatan.
"Tonggak sejarah yang mengejutkan" ini merupakan akibat dari pengeboman tanpa pandang bulu yang dilakukan Israel terhadap rumah-rumah warga sipil, rumah sakit, kamp pengungsi, dan sekolah, kata Medical Aid for Palestines (MAP), sebuah organisasi yang berbasis di Inggris.
"Berapa banyak lagi kematian yang diperlukan untuk mengakhiri serangan ini?" kata Fikr Shalltoot, Direktur kelompok itu di Gaza.
"Saat kami menyaksikan rumah, rumah sakit, dan sekolah hancur menjadi puing-puing, kami menangisi sedikit pun rasa kemanusiaan dari para pemimpin dunia."
Israel, yang berdalih akan menghancukan kelompok Hamas, selama satu bulan, serangan mereka justru menargetkan warga sipil.
Krisis kemanusiaan di Gaza semakin diperparah dengan pengepungan yang dilakukan Israel.
Buntut pengepungan itu, akses menyalurkan bantuan dan barang-barang penting ke Gaza tertutup.
Sebanyak 16 dari 35 rumah sakit di Gaza terpaksa berhenti beroperasi karena jumlah orang terluka terus meningkat, sedangkan bahan bakar sulit didapatkan.
Ketika kondisi di Gaza semakin memburuk dan jumlah korban tewas terus meningkat, seruan untuk mengakhiri pertempuan semakin meningkat.
Pada akhir Oktober 2023, Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) memberikan suara terbanyak untuk mendukung gencatan senjata.
Tetapi, baik Israel maupun sekutu terkuatnya, Amerika Serikat (AS), menolak seruan tersebut.
Mereka mengatakan, berakhirnya pertempuran akan memberikan waktu bagi Hamas untuk berkumpul kembali.
Baca juga: Sejarah Panjang Konflik Israel-Palestina, Genosida yang Bermula dari Pencurian Tanah
Tetapi, baru-baru ini, Presiden AS, Joe Biden, menyerukan jeda sejenak agar bantuan kemanusiaan dapat disalurkan ke Gaza, namun Israel kurang menunjukkan antusiasme terhadap gagasan ini.
Terpisah, warga Palestina khawatir serangan tidak akan berakhir karena Israel masih terus membombardir Gaza tanpa henti.
"Apakah kamu menikmati film horor ini?" kata warga kamp pengungsi al-Shati, Zak Hania, kepada para pemimpin dunia dalam sebuah wawancara dengan AlJazeera.
"Berapa banyak orang yang perlu mati, (perlu) dibunuh, demi rakyatnya, demi dunia, agar para pemimpin dunia bisa bergerak untuk melakukan sesuatu?"
"Kami meminta gencatan senjata. Kami semua adalah warga sipil," tutur dia.
Rumah Sakit di Gaza Terus Diserang
Pesawat tempur Israel terus menyerang rumah sakit di Gaza
Setelah pemadaman komunikasi dan jaringan lainnya pada Minggu (5/11/2023), Kompleks Medis Nasser, yang memiliki empat rumah sakit, mengalami serangan tidak langsung dan langsung dari rudal Israel.
Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, setidaknya delapan warga tewas dalam serangan itu dan puluhan lainnya luka-luka.
Kompleks medis tersebut berisi Rumah Sakit Anak Al-Nasser, Rumah Sakit Khusus Rantisi, Rumah Sakit Mata, dan Rumah Sakit Jiwa.
"Tentara (Israel) menelepon beberapa staf kami malam itu dan mengatakan mereka akan membuat sabuk api di sekitar rumah sakit," ungkap seorang dokter di Rumah Sakit Rantisi, Suleiman Qaoud, masih dikutip dari AlJazeera.
Sekitar pukul 18.30 waktu setempat, pesawat tempur Israel menyerang area Rumah Sakit Jiwa dan Rumah Sakit Rantisi, melukai 35 orang, termasuk beberapa staf medis.
Dua jam kemudian, Rumah Sakit Rantisi serta sisi tenggara dan timur laut, terkena serangan.
Bangsal kanker anak-anak terletak di sisi timur laut rumah sakit, kata Qaoud.
Baca juga: Tentara Israel Mundur dari Gaza Utara, Brigade Al-Qassam Hancurkan 24 Kendaraan Militer Musuh
"Lebih dari 30 anak menerima pengobatan kemoterapi di sana," ujar dia.
Serangan kembali berlanjut untuk ketiga kalinya, menghantam halaman tempat ambulans dan kendaraan lain diparkir.
Halaman rumah sakit diketahui juga menjadi tempat keluarga pengungsi berlindung.
“Kami memiliki antara 80 dan 100 pasien, dan 700 keluarga pengungsi – yang berarti sekitar 5.000 orang,” kata Qaoud.
“Panel surya dan tangki air juga menjadi sasaran, artinya RS Rantisi tidak memiliki setetes air pun,” lanjut dia.
Serangan terhadap rumah sakit memaksa Rabaa al-Radee membawa cucunya yang sakit, Sidra, untuk berobat ke tempat lain.
Sidra mengidap penyakit kanker dan kakinya patah akibat kecelakaan saat melarikan diri dari bom Israel yang menghantam sekolah tempat mereka berlindung.
“Kami sampai di RS Kamal Adwan, tapi mereka malah menyuruh kami datang ke RS Rantisi,” kata Rabaa.
"Sekarang, Rantisi menyuruh kami pergi ke Rumah Sakit Shifa, tapi tidak ada ambulans atau mobil di jalan.”
Setidaknya 16 dari 35 rumah sakit di Gaza tidak berfungsi dan 51 dari 72 klinik kesehatan primer di wilayah itu telah ditutup sepenuhnya.
Rumah Sakit Jiwa, satu-satunya di Jalur Gaza, juga tidak mampu lagi merawat pasiennya.
“Kami akan menerima 50 hingga 70 pasien setiap hari, mulai dari mereka yang datang untuk mengambil obat hingga mereka yang datang untuk dirawat karena trauma psikologis akibat suara bom yang terus menerus,” kata Jamil Suleiman, Direktur Umum Rumah Sakit Jiwa.
“Luka di badan bisa sembuh, tapi luka psikologis jauh lebih dalam dan perlu perawatan kejiwaan,” sambungnya.
Jika rumah sakit di Gaza terus diserang, maka Dewan Keamanan PBB atau Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) tidak diperlukan, tambah Suleiman.
Baca juga: PM Yordania: Pengusiran Warga Palestina dari Gaza Kami Anggap Sebagai Deklarasi Perang
“Jika tidak ada jaminan terhadap hak-hak pasien, maka tidak ada gunanya badan kesehatan internasional hanya menyaksikan suatu populasi dibantai,” katanya.
“Mungkin jika kita adalah binatang, maka kita akan mendapatkan hak-hak kita.”
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya
A member of
Follow our mission at sustainabilityimpactconsortium.asia