Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Tak Yakin Pindah ke Selatan Aman. Sebagian Warga Gaza Utara Bertahan di Tengah Gempuran

Sejumlah warga Palestina memilih tetap bertahan di tinggal pemukimannya di Gaza Utara di tengah gempuran militer Israel.

Penulis: Choirul Arifin
zoom-in Tak Yakin Pindah ke Selatan Aman. Sebagian Warga Gaza Utara Bertahan di Tengah Gempuran
AP/Hatem Moussa
Israel memaksa warga Palestina di Jalur Gaza bagian utara dan tengah mengungsi ke Gaza selatan seperti pemandangan yang terlihat saat ribuan warga Gaza melintas di Jalan Salah al-Din di Bureij, Jalur Gaza, Rabu, 8 November 2023. ( AP Photo/Hatem Moussa) 

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Sejumlah warga Palestina memilih tetap bertahan di tinggal pemukimannya di Gaza Utara di tengah upaya militer Israel mengosongkan wilayah Gaza Utara dan Gaza tengah dengan memaksa ribuan warga Palesina di Jalur Gaza mengungsi ke Gaza selatan, 

Mereka menyatakan siap dengan risiko kehilangan nyawa oleh gempuran militer Israel yang nyaris tiada henti terhadap sasaran sipil di Gaza Utara.

Mereka tidak yakin kehidupannya akan lebih aman jika turut mengungsi ke selatan seperti perintah tentara Israel.

Di kawasan Yarmouk di pusat Kota Gaza, Nidaa Moien kepada Middle East Eye melalui sambungan telepon menyatakan pemboman jet tempur Israel masih terus terjadi di wilayahnya.

Seperti yang dia saksikan sendiri melalui jendela, bom ringan Israel jatuh di dekat tempatnya tinggal dan menyebabkan kebakaran bangunan tempat tinggal.

Dia dan keluarganya termasuk di antara puluhan ribu warga Palestina yang masih belum meninggalkan rumah mereka di Kota Gaza di bagian utara yang saat ini menjadi wilayah kantong pemukiman Palestina yang terkepung meskipun Israel melakukan pemboman intensif di lingkungan mereka.

“Sebagian besar orang masih di sini, banyak kerabat saya yang belum meninggalkan rumah mereka, dan kami bahkan melihat orang-orang yang meninggalkan rumah mereka di bagian lain Kota Gaza datang ke lingkungan kami meskipun kondisinya juga tidak aman,” ujar Moien, 32 tahun.

Berita Rekomendasi

“Saat saya menelepon teman-teman saya yang mengungsi dari rumahnya ke wilayah selatan, saya merasa tinggal di belahan dunia yang berbeda. Kami benar-benar merasa terisolasi meski terpisah jarak beberapa kilometer,” bebernya.

Baca juga: Genset Mati, Israel Terus Kepung RS Al-Shifa: 15 Ribu Pengungsi Gaza Mati Pelan-pelan

Pada hari pertama perang besar-besaran Israel di Gaza, Moien, suaminya, dan anaknya yang berusia dua bulan meninggalkan rumah mereka untuk berlindung di rumah mertua mereka di lingkungan terdekat.

Saat terjadi pengungsian massal penduduk Jalur Gaza bagian utara dan Kota Gaza pada 13 Oktober setelah mendapat ultimatum Israel bahwa selama 24 jam agar lebih dari satu juta warga sipil harus pergi meninggalkan rumah, dia dan mertuanya meninggalkan rumah mereka untuk mencari perlindungan di Khan Younis di selatan.

Namun, mereka kembali seminggu kemudian ke Yarmouk setelah menyaksikan sendiri "malam paling kejam" pemboman yang dilakukan Israel di Gaza Selatan.

Baca juga: Brutal, Tentara Israel Hajar Tiktoker Palestina Saat Live Streaming di West Bank

“Kami pikir tidak perlu tinggal di sana sementara intensitas pengeboman masih sama,” katanya.

“Tetapi yang terpenting, kami tidak dapat tinggal lebih lama karena jumlah pengungsi yang mengungsi di rumah kerabat kami banyak, dan persediaan makanan dan air terbatas.

“Kami pikir lebih baik kembali ke rumah, di mana kami punya persediaan makanan dan sedikit air,” imbuhnya.

Moien mengatakan, yang paling dikhawatirkannya adalah persediaan makanan yang terus menipis karena pasar kelontong di sekitar mereka tutup dan mereka tidak bisa keluar rumah.

Orang-orang yang membawa beberapa barang miliknya mencapai Jalur Gaza tengah melalui jalan Salah al-Din dalam perjalanan ke bagian selatan daerah kantong Palestina pada tanggal 5 November 2023. Selebaran yang dijatuhkan oleh tentara Israel pada tanggal 5 November, mendesak warga Kota Gaza untuk mengungsi ke selatan antara pukul 10 pagi (0800 GMT) dan 14:00 (1200 GMT), sehari setelah seorang pejabat AS mengatakan setidaknya 350.000 warga sipil masih berada di dalam dan sekitar kota yang sekarang menjadi zona perang perkotaan.
Warga Palestina di Jalur Gaza dipaksa mengungsi ke Gaza Selatan oleh militer Israel di bawah ultimatum. Warga hanya mampu membawa beberapa barang miliknya mencapai Jalur Gaza tengah melalui jalan Salah al-Din dalam perjalanan ke bagian selatan daerah kantong Palestina pada tanggal 5 November 2023. Selebaran yang dijatuhkan oleh tentara Israel pada tanggal 5 November 2023 memerintahkan warga Kota Gaza untuk mengungsi ke selatan antara pukul 10 pagi (0800 GMT) dan 14:00 (1200 GMT), sehari setelah seorang pejabat AS mengatakan setidaknya 350.000 warga sipil masih berada di dalam dan sekitar kota yang sekarang menjadi zona perang perkotaan. (MOHAMMED ABED / AFP)

“Seringkali, kami bahkan tidak bisa mendekati jendela, takut ada penembak jitu di dekat lingkungan kami. Kami tidak bisa meninggalkan rumah karena alasan apa pun. Bahkan jika kami pergi, kami tidak akan menemukan pasar yang masih buka.”

Dia menambahkan, kerabat dan teman-temannya yang telah pergi selama seminggu terakhir mengatakan mereka menyaksikan “mimpi buruk yang nyata”, karena mereka terpaksa berjalan berkilo-kilo meter jauhnya ke Selatan di tengah hujan bom Israel di sekitar mereka.

Dia juga khawatir, jika ada keluarga dekatnya yang memerlukan perawatan medis, tidak akan ada rumah sakit yang bisa merawat mereka.

“Saya khawatir jika kami tinggal di sini dan ada di antara kami yang terluka, atau bahkan jika kaki seorang anak patah, kami tidak akan menemukan rumah sakit atau klinik yang masih buka di seluruh kota," ungkapnya.

"Klinik di sekitar kami ditutup karena kurangnya bahan bakar, dan rumah sakit utama saat ini dikepung oleh tank Israel. Siapa pun yang mendekati mereka akan ditembak," lanjutnya.

Sejak Jumat, pasukan Israel telah mengepung rumah sakit utama di Kota Gaza, termasuk rumah sakit al-Shifa, kompleks medis terbesar di wilayah tersebut.

Selama beberapa minggu terakhir, enam rumah sakit terbesar di Kota Gaza telah berulang kali menjadi sasaran serangan udara, peluru artileri, dan penembak jitu Israel.

Di lingkungan tempat Moien tinggal, seorang perawat yang bekerja di bangsal bersalin rumah sakit al-Sahaba di Kota Gaza mengatakan rumah sakit tersebut ditutup akhir pekan lalu karena kekurangan bahan bakar.

Ini adalah bangsal bersalin terakhir di Kota Gaza, yang berarti perempuan hamil tidak akan bisa menjalani operasi caesar.

“Saat ini tidak ada tempat di mana perempuan hamil bisa melahirkan. Tidak ada rumah sakit atau klinik bersalin yang buka saat ini,” ujar Aya Muhammed, seorang perawat berusia 25 tahun.

“Kami perkirakan puluhan perempuan hamil akan meninggal karena mereka terpaksa melahirkan sendirian di rumah," ungkapnya.

Selain itu, wanita yang mengalami keguguran tidak akan dapat menerima perawatan medis yang mereka perlukan untuk menyelamatkan nyawa.

“Sejak awal perang, kami telah menerima puluhan kasus perempuan mengalami keguguran karena takut akan bom dan stres berat,” kata Muhammad. Pada hari Kamis, selama shiftnya saja, mereka menerima enam kasus.

Saksi mata mengatakan kepada Middle East Eye bahwa suami dan kerabat dari wanita hamil yang diperkirakan akan segera melahirkan berkeliaran di lingkungan mereka untuk mencari dokter yang tinggal atau berlindung di dekatnya untuk membantu mereka melahirkan di rumah.

Pada Minggu pagi, pasukan Israel yang mengepung rumah sakit al-Shifa mengebom bangsal bersalinnya, menewaskan sedikitnya tiga perawat.

“Seorang rekan perawat yang tinggal di jalan Tal al-Hawa [barat daya Kota Gaza] mengatakan kepada saya bahwa dia melihat banyak mayat orang terbunuh di jalan dari jendelanya. Tidak ada yang bisa mengambil atau mendekati mereka,” kata Muhammad.

“Mereka yang terluka dibiarkan mati kehabisan darah ketika penembak jitu Israel langsung menembaki siapa pun yang mencoba mendekati mereka. Kami menyaksikan para pasien dan korban luka meninggal sementara kami tidak dapat melakukan apa pun untuk menyelamatkan nyawa mereka.”

"Semua persediaan penyelamat jiwa telah diputus. Kami hanya menunggu nasib kami sendiri," ujarnya.

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2025 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas