Malaysia Menolak, Ratusan Pengungsi Rohingya Diperkirakan Kembali Tiba di Aceh dalam Waktu Dekat
Para penyelundup pun disebut memanfaatkan situasi ini dengan menawarkan perjalanan menuju ke Indonesia atau Malaysia.
Editor: Hasanudin Aco
Sejak berbulan-bulan lalu, Lewa mengaku telah memperingatkan Indonesia untuk menghadapi situasi seperti ini.
“Saya sudah menjelaskan situasi di lapangan [kepada perwakilan pemerintah] bahwa Indonesia harus bersiap menghadapi lebih banyak kedatangan pengungsi Rohingya. Tapi sepertinya tidak ada yang dipersiapkan,” ujar Lewa.
Ketidakjelasan mekanisme penanganan pengungsi ini dinilai berkontribusi pada penolakan sebagian warga di Aceh.
Sementara itu, peneliti ASEAN dari Badan Riset Inovasi Nasional (BRIN), Adriana Elizabeth, mengatakan Indonesia tidak bisa menjadi satu-satunya negara yang bersedia menampung pengungsi Rohingya. Sehingga perlu ada kesepakatan regional terkait isu ini.
Padahal, ketika berbicara dalam pertemuan mengenai isu Rohingya di sela-sela Sidang ke-78 Majelis Umum PBB di New York, 21 September lalu, Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi, menegaskan komitmen ASEAN terhadap pengungsi Rohingya.
“Saya juga sebutkan bahwa ASEAN akan terus memberikan kontribusi dan ASEAN tidak akan pernah melupakan Rohingya,” tutur Retno melalui YouTube Kemlu RI.
‘Kami mendengar Indonesia negara terbaik untuk pengungsi’
Setelah 15 hari berlayar dari Bangladesh, kapal yang ditumpangi oleh Rukiah merapat di Pantai Ujong Kareung, Sabang, Aceh, pada Selasa (21/11) malam.
“Di kapal kami kelaparan, kami tidak bisa makan selama lima hari terakhir,” kata perempuan Rohingya berusia 21 tahun itu kepada wartawan di Aceh, Hidayatullah, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
Terdapat 219 pengungsi Rohingya di kapal itu, mayoritas adalah perempuan dan anak-anak.
Ini adalah kapal keenam yang mengangkut pengungsi Rohingya dan merapat ke wilayah Aceh sejak 14 November.
Begitu tiba, rombongan pengungsi Rohingya sempat tertahan di bibir pantai di bawah terik matahari. Ruang gerak mereka dibatasi oleh garis polisi.
Siang itu, mereka mendapat makan siang berupa nasi dan lauk dari warga setempat. Salah satu pengungsi perempuan tampak terbujur di atas pasir dan harus disuapi oleh kerabatnya.
Wartawan di Aceh, Hidayatullah, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia, mengatakan bahwa beberapa warga Sabang sengaja datang untuk memberi bantuan. Mereka mengaku prihatin dengan kondisi para pengungsi Rohingya yang baru turun dari kapal.
Rukiah naik ke kapal itu bersama suami dan kedua anaknya. Menurutnya, kehidupan di kamp pengungsian di Cox’s Bazaar “sangat buruk”, sehingga mereka harus pergi untuk mencari peluang hidup yang lebih baik dan lebih aman.
“Ekonomi kami sehari-hari sangat sulit. Tidak ada kehidupan di sana. Lebih baik kami dibunuh di sini daripada dikembalikan lagi ke sana,” kata Rukiah menanggapi penolakan sebagian masyarakat terhadap kedatangan mereka.
Seorang pengungsi lainnya, Khalit, 26, menceritakan hal senada soal alasannya meninggalkan kamp di Bangladesh.
“Kami tidak aman di sana, tenda-tenda dibakar. Ada beragam pihak yang tidak kami kenali datang ke tenda kami, lalu membakarnya,” kata Khalit kepada kantor berita AFP.
“Kami memutuskan untuk pergi kapan pun kami bisa dan aman. Kami memutuskan setelah kami mendengar bahwa Indonesia adalah negara terbaik untuk pengungsi, itulah mengapa kami memutuskan pergi ke Indonesia,” sambung Khalit.
Menanti kebijakan penanganan
Sejak pertama kali kedatangan para pengungsi Rohingya pada 14 November lalu, Pemerintah Kabupaten Pidie menyatakan bahwa mereka “masih menunggu kebijakan dari pemerintah pusat” soal bagaimana menangani para pengungsi.
Ratusan pengungsi yang tiba di wilayah Pidie kini ditempatkan sementara di tenda yang didirikan oleh Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD). Sedangkan konsumsi mereka ditanggung oleh UNHCR.
“Pemerintah daerah sedang menunggu kebijakan pemerintah pusat karena sudah beberapa kali meeting melalui Zoom tapi belum ada kepastian,” kata Penjabat Bupati Pidie, Wahyudi Adisiswanto dikutip dari kantor berita Antara pada Rabu (22/11).
Wahyudi juga mengutarakan “akan menolak” jika ada pengungsi lainnya yang mendarat di wilayah Pidie.
Kebingungan soal mekanisme penanganan pengungsi ini juga disuarakan oleh Ketua Komisi 1 DPR Aceh, Iskandar Usman Al-Falarky. Menurutnya, sikap pemerintah pusat yang belum jelas membuat penanganan pengungsi oleh pemda pun menjadi tidak maksimal.
“Misalnya soal penggunaan anggaran, tidak ada peraturan baku mengenai penanganan pengungsi Rohingya anggarannya dari mana? Pemerintah daerah tidak bisa menggunakan anggaran karena regulasinya juga tidak jelas,” papar Usman kepada wartawan di Aceh, Rino Abonita, yang melaporkan untuk BBC News Indonesia.
BBC News Indonesia telah menghubungi Kementerian Luar Negeri dan Kementerian Bidang Politik Hukum dan Keamanan terkait hal ini, namun belum ada tanggapan.
Sebelumnya, suara-suara penolakan untuk menerima pengungsi pun sempat mengemuka dari sebagian warga. Meski pada akhirnya, dari total enam kapal yang mendarat di Aceh dalam sepekan, tidak satu pun yang dipaksa kembali ke laut.
Perwakilan UNHCR untuk Indonesia, Ann Mayman, menyebut situasi di lapangan sudah “lebih stabil” dan pihaknya mengupayakan agar para penduduk lokal bisa memahami situasi yang dihadapi oleh para pengungsi Rohingya.
“Penting untuk memahami siapa para pengungsi Rohingya ini. Beberapa pihak menyebut mereka sebagai Palestina-nya Asia, tapi mereka tidak mendapat perhatian yang sama seperti yang kita berikan kepada orang-prang Palestina. Di sini lah masalahnya,” kata Mayman kepada wartawan BBC News Indonesia, Hanna Samosir.
“Semua orang berpaling dan menganggap mereka kriminal, dan itu sangat tidak tepat.”
“Mereka adalah orang-orang yang rentan. Mereka tidak punya kewarganegaraan. Mereka membutuhkan perlindungan,” kata dia.
Bagaimana situasi di kamp Cox's Bazaar?
Chris Lewa dari Arakan Project mengatakan rentetan kedatangan pengungsi Rohingya ini tak lepas dari memburuknya situasi keamanan di Cox’s Bazaar setelah enam tahun mereka ditempatkan di sana.
Menurutnya, terdapat sejumlah kelompok bersenjata yang bertikai satu sama lain di kamp pengungsian. Sebagian pengungsi dan pemilik toko diminta untuk membayar “pajak” kepada kelompok bersenjata ini.
Krisis global juga membuat lebih sedikit dana didonasikan kepada para pengungsi Rohingya. Uang makan yang sebelumnya diberikan sebesar US$12 per bulan untuk per orang, telah dikurangi menjadi US$8.
Lewa mengatakan migrasi orang-orang Rohingya telah meningkat sejak tahun lalu. Mayoritas dari mereka masih bertujuan ke Malaysia, yang bisa ditempuh melalui jalur Myanmar-Thailand atau Indonesia.
Namun karena kian intensnya situasi konflik di Myanmar beberapa pekan terakhir, perbatasan dijaga lebih ketat.
BBC News Burmese melaporkan bahwa kubu pemberontak Tentara Arakan telah melanjutkan pertempuran dengan militer Myanmar pada 13 November lalu.
“Jadi kemungkinan mereka beralih ke rute Indonesia sekarang, yang tentunya mengkhawatirkan,” kata Lewa.
Para pengungsi yang tiba di Aceh belakangan ini, sambung Lewa, adalah orang-orang yang melarikan diri sebelum konflik bertambah intens. Artinya, ada kemungkinan jumlah pengungsi yang lebih banyak akan tiba akibat situasi baru-baru ini.
“Sementara mereka tidak bisa masuk ke Malaysia, karena sangat ketat menghalau dan mendorong mereka kembali ke laut. Pada akhirnya, mereka selalu sampai di Indonesia.”
“Dan pada saat yang sama, kebijakan menahan mereka di Malaysia, para penyelundup mulai mengatur rute untuk mendaratkan mereka di Indonesia.”
Di mana peran ASEAN?
Menurut Lewa, upaya ASEAN untuk mengatasi krisis di Myanmar tak terlihat berprogres hingga saat ini. Situasi di Myanmar justru semakin kompleks dengan munculnya berbagai faksi yang berkonflik.
ASEAN selama ini mengacu pada lima poin kesepakatan (five points consensus/5C) terhadap situasi di Myanmar.
“Militer Myanmar mulanya setuju untuk mengeimplementasikan kesepakatan itu, tapi sekarang saya rasa ASEAN pun sudah benar-benar buntu, mereka hanya mengulang-ulang kesepakatan yang sama, tapi tidak ada progres,” jelas Lewa.
Jika tidak ada mekanisme dan kesepakatan regional yang jelas untuk menangani pengungsi, dia khawatir negara-negara ASEAN akan kewalahan ketika situasi ini mencapai puncak krisisnya.
Dalam posisi itu, Indonesia yang selama ini masih mengizinkan para pengungsi untuk mendarat bisa saja menerapkan kebijakan untuk menghalau dan mengembalikan para pengungsi ke laut, seperti yang dilakukan Malaysia.
“Kalau Indonesia menerapkan itu, maka itu akan menjadi bencana. Lalu ke mana lagi mereka harus berlabuh?” katanya.
Sementara itu, Adriana Elizabeth mengatakan sudah saatnya negara-negara ASEAN memiliki kesepakatan dan kesepahaman soal bagaimana harus menangani para pengungsi Rohingya.
Sebab membiarkan persoalan ini berlarut-larut dapat menimbulkan beban ekonomi dan sosial yang berat di negara yang disinggahi.
Di sisi lain, para pengungsi Rohingya akan rentan terjerat dalam siklus penyelundupan manusia atau dimanfaatkan untuk bekerja dengan upah rendah.
“Ini yang harus diperjelas di ASEAN mau seperti apa diatasi. Kalau hanya Indonesia sendiri yang menanggung bebannya, tidak akan bisa,” ujar Adriana.
Indonesia, yang tahun ini dipercaya sebagai Ketua ASEAN, semestinya bisa berperan atas hal itu. Meskipun, Adriana mengatakan upaya yang dilakukan ASEAN untuk menuntaskan akar masalah di Myanmar sangat mungkin terhalang oleh prinsip non-intervensi.
Ketika berbicara dalam pertemuan mengenai isu Rohingya di sela-sela Sidang ke-78 Majelis Umum PBB di New York, Kamis (21/9), Menlu RI, Retno Marsudi, mengingatkan bahwa nasib pengungsi Rohingya hingga saat ini masih belum jelas sementara situasi global dan kondisi domestik di Myanmar semakin mempersulit penyelesaian masalah ini.
“Penyelesaian isu Rohingya hendaknya menjadi bagian dari penyelesaian krisis politik di Myanmar,” kata Retno ketika menyampaikan keterangan pers secara daring melalui YouTube Kemlu RI.
Dia memaparkan bahwa integrasi kembali warga Rohingya ke dalam masyarakat Myanmar harus menjadi bagian dari agenda dialog nasional yang inklusif, yang didorong oleh ASEAN melalui Konsensus Lima Poin yang disepakati sebagai solusi atas krisis politik Myanmar.