Raup Cuan Puluhan Triliun dari Konflik Ukraina-Rusia, Negara NATO Dihujat Habis-habisan
Norwegia disebut meraup untung puluhan triliun dari konflik Ukraina-Rusia.
Penulis: Febri Prasetyo
Editor: Whiesa Daniswara
TRIBUNNEWS.COM - Salah satu negara anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), Norwegia, disebut meraup banyak keuntungan dari konflik Ukraina-Rusia.
Tahun lalu pendapatan Norwegia dari ekspor minyak dan gas dilaporkan meroket di tengah melambungnya harga energi.
Menurut NRK, salah satu media besar di Norwegia, negara itu mendapatkan keuntungan sekitar 334 miliar kroner atau sekitar Rp48,4 triliun.
Angka itu diperoleh NRK dari hasil riset NHH, sebuah sekolah bisnis di Norwegia.
"Kami mendapati bahwa harga batu bara dan persediaan milik Rusia tidak bisa menjelaskan sebagian besar fluktuasi pada harga gas alam sepanjang tahun 2022," kata para peneliti NHH, dikutip dari Russian Today.
Jumlah itu menyumbang 27 persen dari pendapatan ekspor gas Norwegia tahun 2022, termasuk ekspor ke Inggris.
Baca juga: Update Perang Rusia-Ukraina Hari ke-645: Uni Eropa Kirim 300 Ribu Peluru yang Dijanjikan ke Ukraina
Rekor pendapatan dari ekspor gas juga disebut mencetak rekor pada tahun tersebut.
Namun, melonjaknya pendapat dari sektor itu juga memunculkan kritik pedas di Norwegia.
"Nilainya sangat besar," kata Arild Hermstad, pemimpin Partai Hijau di Norwegia, seperti dikutip oleh NRK.
"Bahwa Norwegia harus mendapatkan keuntungan dari kemalangan orang itu patut dicela. Pemerintah membuat (kita) malu menjadi orang Norwegia," lanjutnya.
Keuntungan yang amat besar itu membuat sejumlah politikus menuding Norwegia telah menjadi pihak yang mendulang keuntungan dari perang.
Baca juga: Deal, Militer Iran Segera Terima Puluhan Jet Tempur Su-35 dan Heli Serang Mi-28 Buatan Rusia
Dikutip dari Newsinenglish.no, sebuah media independen di Norwegia, Partai Hijau telah mengusulkan agar keuntungan itu digunakan untuk membangun kembali Ukraina dan mengurangi ketergantungan Eropa pada gas Rusia.
Sementara itu, Partai Kiri Sosialis, Naturvernforbund (LSM lingkungan), dan organisasi iklim lainnya ingin setidaknya ada bagian keuntungan yang digunakan untuk kepentingan penanganan iklim.
Adapun mantan Perdana Menteri Inggris, Gordon Brown juga mengusulkan Norwegia untuk mendonasikan setidaknya 3 persen dari keuntungan itu untuk membantu program berkaitan dengan iklim di negara-negara yang lebih miskin.
Di sisi lain, Menteri Minyak dan Energi Norwegia Terjen Aasland melakukan pembelaan.
Aasland menyebut Norwegia telah berhasil menyalurkan gas yang amat diperlukan oleh Eropa tatkala kawasan itu dilanda krisis.
Oleh karena itu, pemerintah tidak bisa disalahkan atas tingginya harga gas dan minyak.
Baca juga: Jelang Musim Dingin, Rusia Terus Lancarkan Serangan ke Pertahanan Sisi Timur Ukraina
Dia juga mengklaim Norwegia menjadi salah satu negara yang sudah banyak memberikan bantuan kepada Ukraina, baik bantuan kemanusiaan maupun bantuan militer.
"Tanpa ekspor dari Norwegia, harga energi akan jauh lebih tinggi," ujar Aasland.
"Semua pihak yang menjual energi mendapatkan uang ketika harga energi amat tinggi, termasuk pemerintah Norwegia.
Posisi Norwegia Makin Penting
Sejak negara-negara Eropa mulai mengurangi impor energi dari Rusia, posisi Norwegia sebagai eksportir energi makin penting.
Tahun lalu Norwegia menjadi eksportir terbesar gas alam ke Eropa. Produksinya pun meningkat hingga 8 persen.
Karena harga melonjak, pendapatan pemerintah Norwegia dari sektor minyak naik hingga hampir tiga kali lipat dari tahun kemarin.
Baca juga: Media Barat Mulai Sindir Presiden Ukraina, Juluki Presiden Zelensky Sebagai Tokoh Pemimpi
Jaz Averty yang menjabat sebagai Wakil Presiden Equinor, salah satu perusahaan energi di Norwegia, mengatakan produk Equinor kini dipandang makin penting daripada sebelum konflik Ukraina.
"Sebelumnya, produk kami mungkin penting. Namun, itu kurang terlihat," katta Averty.
(Tribunnews.com/Febri)