Mengapa Politisi Sering Ditikam di Korea Selatan?
Politisi Korea Selatan, Lee Jae-myung, ditikam di leher saat melakukan sesi wawancara dengan pers.
Editor: Hasanudin Aco
Song, yang sudah lama menjadi anggota parlemen, ditangkap pada Desember tahun yang sama dalam skandal bagi-bagi uang untuk pemilu saat itu.
Pada 2015, Duta Besar AS untuk Korsel Mark Lippert butuh 80 jahitan setelah wajahnya disayat dengan pisau buah saat menghadiri sebuah forum diskusi penyatuan Korea di Seoul.
Lippert butuh lima hari perawatan di rumah sakit dan juga operasi untuk menyembuhkan luka yang menganga selebar 11 cm di bagian kanan wajahnya.
Dia juga menderita luka tusuk di pergelangan tangan kirinya yang mengakibatkan kerusakan saraf.
Serangan ini dilakukan seorang nasionalis Korea yang menyerukan protes atas latihan militer tahunan bersama antara AS dan Korsel.
Kantor berita milik negara Korea Utara menyebut serangan terhadap Lippert sebagai “hukuman yang pantas” atas latihan-latihan militer. Mereka menjuluki penikaman itu: “pisau keadilan.”
Tahun 2006, pimpinan partai konservatif Park Geun-hye, yang kemudian menjadi presiden pada 2013, diserang saat menghadiri kampanye politik.
Park menderita luka sayatan sebesar 11 cm yang membutuhkan 60 jahitan yang membuatnya tidak mampu berbicara secara normal selama berminggu-minggu.
Media setempat kala itu melaporkan bahwa pelaku dalam pernyataannya kepada pihak polisi merasa frustasi karena harus menjalani hukuman penjara atas kejahatan yang tidak dilakukannya.
Park Geun-hye adalah putri dari Presiden Park Chung Hee yang tewas dibunuh pada 1979.
Dia kemudian dimakzulkan dan dilengserkan pada 2017.
Penikaman atas Lee Jae-Myung adalah yang terbaru dari sejarah kekerasan politik di Korea Selatan.
Gubernur Chungcheong, Kim Tae-heum, menyuarakan reaksinya atas serangan pada Selasa (2/1) itu.
“Terorisme politis seharusnya tidak terjadi,” ujarnya kepada BBC Korea.
“Kita harus mendirikan mekanisme institusional pencegahan guna menghindari hal seperti ini terjadi lagi pada kemudian hari.”
Sumber: Yonhap/BBC/Reuters