Mayoritas Ibu Hamil di Gaza Alami Gizi Buruk, Nasib Bayi ASI Terancam Tewas Dehidrasi
Nasib bayi ASI terancam tewas dehidrasi lantaran para ibu hamil dan menyusui mengalami gizi buruk imbas krisis pangan di Gaza
Penulis: Namira Yunia Lestanti
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Lembaga Swadaya Masyarakat Internasional ActionAid mengungkap jumlah ibu hamil dan menyusui di Gaza yang terindikasi mengalami gizi buruk mengalami lonjakan tajam.
Lonjakan gizi buruk yang menimpa ibu hamil dan menyusui mulai terjadi pasca-Israel melakukan blokade bantuan pangan yang akan dikirimkan ke wilayah Gaza.
Israel bersikukuh tindakan blokade dilakukan untuk melumpuhkan kekuatan militan Hamas.
Namun akibat aksi pemblokiran akses pangan, kini jutaan warga Palestina termasuk para ibu hamil dan menyusui mengalami gizi buruk dan kekurangan cairan, sehingga tak bisa menyusui bayinya dengan baik.
Baca juga: Palestina Dilanda Krisis Pangan, Jutaan Pengungsi Terancam Kelaparan dan Terjangkit Penyakit Menular
Akibatnya, bayi-bayi malang tersebut terancam mengalami dehidrasi akut yang bisa berdampak serius terhadap kelangsungan hidupnya.
“Seluruh penduduk dunia mengalami kelaparan, namun ibu hamil dan menyusui yang paling menderita. Kisah-kisah yang kami dengar sungguh mengerikan,” Riham Jafari, Koordinator Advokasi dan Komunikasi di ActionAid Palestine, dikutip dari Al Arabiya.
“Para ibu terpaksa menyaksikan tanpa daya saat anak-anak mereka menjerit dan menangis kelaparan, sementara mereka sama sekali tidak berdaya untuk melakukan apapun,” imbuh Jafari.
Khitam, seorang ibu dari lima anak termasuk bayi yang baru lahir, yang saat ini tinggal di sebuah sekolah di Deir Al Balah, mengatakan kepada ActionAid bahwa dia tidak bisa memberikan asi untuk makan anak-anaknya.
Hal senada juga dilontarkan Seorang ibu menyusui di Gaza, Fadwa Kullab. Ia menjelaskan bahwa dirinya merasa sangat bersalah kepada bayinya karena tidak dapat memberikan ASI yang baik.
“Saya sendiri sangat kesulitan untuk memproduksi ASI karena kurangnya asupan gizi, alhasil kualitas ASI yang kurang baik ini membuat putra ketujuh saya yang baru berusia 7 hari menolak untuk minum ASI,” jelas Fadwa.
Baca juga: Krisis BBM, Warga Gaza Terpaksa Pakai Kereta Kuda sebagai Alat Transportasi
Jutaan Warga Gaza Minum Air Tercemar
Tak hanya melakukan blokade belakangan Israel juga turut memblokir akses air bersih bagi jutaan warga Palestina yang mengungsi di Gaza.
Umumnya tiap orang membutuhkan pasokan air sekitar 15 liter hari untuk memenuhi semua kebutuhan mereka, mulai dari minum hingga mandi dan membersihkan rumah.
Namun imbas blokade tersebut kini setiap orang di Gaza dibatasi kebutuhan air bersihnya yakni 1,5 liter air per hari untuk satu orang.
Bahkan untuk mencukupi kebutuhan sehari – hari, penduduk Gaza terpaksa mengkonsumsi air tak layak minum seperti air limbah atau air laut asin yang direbus.
Osama Saqr, pengungsi di sebuah sekolah badan bantuan PBB di Khan Younis mengungkap bahwa ia harus mengisi beberapa botol dengan air kubangan untuk anak-anaknya yang kehausan.
“Itu tercemar dan tidak cocok, tapi anak-anak saya selalu meminumnya, tidak ada alternatif lain. Namun saya khawatir pada akhirnya saya akan kehilangan salah satu anak saya karena keracunan ini.” katanya Osama kepada Al Jazeera.
Badan Pemantau Hak Asasi Manusia Euro-Med bahkan menggambarkan situasi yang tengah terjadi di Gaza sebagai "perang kelaparan".
Belum diketahui sampai kapan Israel akan melakukan blokade air bersih.
Namun apabila hal tersebut berlangsung dalam jangka waktu yang lama maka hal tersebut berpotensi memicu munculnya wabah penyakit kolera secara besar - besaran.
Mengingat hingga kini orang-orang di pusat pengungsian UNRWA banyak yang melakukan buang air besar sembarangan karena keterbatasan toilet umum, hingga Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat lebih dari 44.000 orang di Gaza terkena diare.
“Krisis air yang diperparah dengan kurangnya pengelolaan limbah padat, sanitasi yang buruk, serta kebiasaan buang air besar di tempat terbuka memicu penyebaran penyakit, kolera, infeksi saluran pernapasan, dan infeksi kulit lebih tinggi dari rata-rata tahunan,” jelas Richard Brennan, direktur darurat regional untuk wilayah Mediterania Timur di WHO.
(Tribunnews.com/Namira Yunia Lestanti)