AS Serang Yaman Tanpa Diskusi ke Kongres AS, Biden Kompak Dikecam Partai Demokrat dan Republik
Partai Demokrat yang mengusung Joe Biden kompak dengan Partai Republik dalam mengeluarkan kecaman secara bipartisan.
Penulis: Bobby W
Editor: Suci BangunDS
TRIBUNNEWS.COM - Tak hanya dikecam di dunia internasional, aksi AS serang Yaman juga mendapatkan hujatan dari dalam negeri.
Hal ini diutarakan oleh para anggota Senat AS menanggapi langkah AS yang menyerang Yaman tanpa adanya diskusi dan konsultasi dengan kongres.
Menariknya, tak ada kubu yang terbelah dalam kecaman tersebut.
Partai Demokrat yang mengusung Joe Biden kompak dengan Partai Republik dalam mengeluarkan kecaman secara bipartisan.
Para legislator di Washington ini mengecam Joe Biden karena tak meminta persetujuan kongres sebelum melakukan serangan militer di Yaman.
Sebelumnya, pada malam Kamis (11/1/2024) Biden menyebutkan bahwa AS telah melancarkan serangkaian serangan udara dan laut terhadap lebih dari selusin lokasi di Yaman.
Tak sendirian, Biden mengeklaim militer AS beraksi dengan dukungan dari Inggris, Australia, Kanada, Belanda, dan Bahrain,
Tindakan ini dinilai Biden sebagai respons pembalasan terhadap serangan terus-menerus oleh Houthi terhadap pengiriman komersial di Laut Merah sejak dimulainya perang Israel di Gaza.
Menanggapi langkah Biden yang mengerahkan militer tanpa satu pun masukan dan pembicaraan dengan anggota senat, para anggota dewan pun meradang,
"Ini adalah pelanggaran konstitusi yang tidak dapat diterima," kata Anggota Kongres Pramila Jayapal, kader Partai Demokrat Washington dan ketua Progressive Caucus.
"Pasal 1 mensyaratkan bahwa tindakan militer harus disetujui oleh Kongres." tegasnya.
Baca juga: Houthi Bersumpah Balas AS dan Inggris, usai Yaman Dibombardir dengan 73 Serangan hingga 5 Tewas
"Tidak dapat diterima," tulis Ayanna Pressley, seorang Demokrat Massachusetts.
Mark Pocan, seorang kader Partai Demokrat Wisconsin, menulis kritik serupa.
"Amerika Serikat tidak dapat mengambil risiko terlibat dalam konflik lain yang berlangsung puluhan tahun tanpa izin kongres."