Disebut Tewaskan 50 Ribu Orang, Perang di Myanmar Luput dari Perhatian Dunia
Perang di Myanmar disebut telah menewaskan sekitar 50.000 orang sejak tentara merebut kekuasaan di negara Asia Tenggara tersebut.
Editor: Adi Suhendi
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Perang di Myanmar disebut telah menewaskan sekitar 50.000 orang sejak tentara merebut kekuasaan di negara Asia Tenggara tersebut.
Namun, peristiwa kemanusiaan tersebut tidak menimbulkan protes jalanan global atau perselisihan mengenai pendanaan di Kongres.
Proyek Data Lokasi dan Peristiwa Konflik Bersenjata (ACLED) menempatkan Myanmar sebagai negara paling kejam dari 50 perang yang dipantaunya di seluruh dunia.
Proyek tersebut dikatakan kepada Newsweek bahwa pihaknya memperkirakan terdapat sekitar 47.000 korban tewas dalam kekerasan di Myanmar sejak kudeta pada 1 Februari 2021 lalu, termasuk setidaknya 8.000 warga sipil.
Mereka menambahkan, angka tersebut masih konservatif dan jumlah total korban tewas bisa saja lebih banyak 12.000 orang dari yang sudah diberitakan.
“Jumlah serangan yang dilakukan militer selama bertahun-tahun sangat besar, namun jumlahnya meningkat ketika pemberontak mengambil alih lebih banyak wilayah pada akhir tahun ini,” kata Andrea Carboni, kepala analisis ACLED dalam sebuah pernyataan.
Baca juga: WNA asal Myanmar yang Dilaporkan Tenggelam Ditemukan Tewas, Korban Terbawa Arus 14 Kilometer
Sebelumnya, menurut informasi, Myanmar telah berada dalam kekacauan sejak kudeta yang memicu protes massal, yang lalu berkembang menjadi pemberontakan bersenjata setelah militer merespons protes tersebut dengan kekuatan brutal.
Bersamaan dengan itu, kelompok perlawanan etnis juga telah menguasai wilayah yang luas, yang mencakup setidaknya 34 kota di seluruh negeri, dalam beberapa bulan terakhir sejak serangan besar yang dikenal sebagai Operasi 1027 itu dilancarkan pada akhir Oktober lalu.
Sementara pasukan keamanan rezim militer terus menguasai wilayah tengah dan kota-kota terbesar, termasuk Yangon, Mandalay dan ibu kota Naypyidaw, kelompok etnis telah merebut kota-kota strategis di sepanjang perbatasan timur laut Myanmar dengan Tiongkok, perbatasan barat dengan India dan Bangladesh, dan perbatasan timur dengan Thailand.
Baca juga: Lima alasan Myanmar geser Afghanistan jadi produsen opium terbesar di dunia
“Tiga tahun setelah kudeta Myanmar, kekuasaan militer menjadi semakin tidak pasti dibandingkan sebelumnya dalam 60 tahun terakhir,” kata Richard Horsey, penasihat senior Myanmar di Crisis Group, dalam komentar emailnya.
“Khususnya selama tiga bulan terakhir. Mereka telah kehilangan pasukan, wilayah, dan kota karena lawan yang gigih di berbagai wilayah di negara ini. Namun tampaknya mereka masih bertekad untuk terus berjuang, dan mempertahankan kapasitas kekerasan yang sangat besar, menyerang penduduk sipil dan infrastruktur di wilayah yang telah hilang, dengan menggunakan kekuatan udara dan artileri jarak jauh,” tambahnya.
Kekacauan yang terjadi di negara Asia Tenggara tersebut tidak hanya menyebabkan ribuan warga sipil terbunuh, juga menghancurkan lebih dari 80.000 bangunan dan fasilitas sipil, serta menyebabkan lebih dari 2,3 juta orang terpaksa mengungsi ke negara lain.
Sejak terjadinya kudeta, pihak internasional seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Inggris, dan negara-negara lain telah ikut serta menyatakan sanksi terhadap rezim militer tersebut. PBB dan kelompok hak asasi manusia juga mengecam militer atas pelanggaran hak asasi manusia dalam tindakan keras mereka terhadap oposisi.
Tidak tinggal diam, pemerintahan sipil bayangan Myanmar dan kelompok etnis utama mengatakan, pihaknya berjanji akan terus berusaha untuk menekan rezim militer, namun juga tetap menyatakan kesediaan mereka untuk bernegosiasi.