Peringatan Keras Hamas ke Israel soal Invasi di Rafah, Singgung Gagalnya Pertukaran Sandera
Hamas memperingatkan Israel soal invasi di Rafah dapat menggagalkan pertukaran sandera dan perundingan gencatan senjata.
Penulis: Whiesa Daniswara
Editor: Garudea Prabawati
TRIBUNNEWS.COM - Janji Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu untuk memperluas serangan ke wilayah Gaza selatan, membuat Hamas geram.
Hamas memberi peringatan keras kepada Israel bila tetap nekat menginvasi wilayah Rafah, Gaza selatan, dapat merusak perundingan gencatan senjata dan pertukaran sandera.
Janji Netanyahu ini ternyata juga mendapat tanggapan dari kelompok bantuan dan pemerintah asing, termasuk sekutu dekat Israel, Amerika Serikat (AS).
Presiden AS, Joe Biden prihatin atas janji Netanyahu yang akan memperluas serangan darat di Rafah.
Rafah, yang berbatasan dengan Mesir, adalah tempat perlindungan terakhir bagi warga Palestina yang melarikan diri dari pemboman tanpa henti Israel di tempat lain di Jalur Gaza.
"Setiap serangan yang dilakukan tentara pendudukan di Kota Rafah akan menggagalkan perundingan pertukaran," kata seorang pemimpin Hamas kepada AFP.
Padahal, saat ini kerangka perundingan untuk membebaskan sandera yang tersisa telah memperlihatkan kemajuan selama beberapa minggu terakhir.
Kesepakatan pembebasan sandera adalah fokus utama dari percakapan telepon selama 45 menit antara Biden dan Netanyahu pada hari Minggu (11/2/2024).
Biden mengatakan kepada Netanyahu bahwa kemajuan di Gaza tidak boleh dilanjutkan jika tidak ada rencana yang "kredibel".
Hal itu ditujukan untuk keamanan warga Palestina yang ada di Gaza selatan, kata Gedung Putih.
Sekitar 1,4 juta warga Palestina memadati Rafah, banyak yang tinggal di tenda-tenda sementara makanan, air dan obat-obatan semakin langka.
Baca juga: Israel Tarik Divisi ke-36 dari Jalur Gaza ke Perbatasan Lebanon untuk Hadapi Hizbullah
Netanyahu mengatakan kepada stasiun televisi AS, ABC News, bahwa operasi Rafah akan terus dilakukan sampai Hamas tersingkir.
Ia juga menambahkan bahwa Israel akan memberikan "jalan yang aman" bagi warga sipil yang ingin meninggalkan Rafah.
"Anda tahu, wilayah yang telah kami bersihkan di utara Rafah, banyak wilayah di sana. Tapi kami sedang menyusun rencana rinci," kata Netanyahu kepada ABC News.
Gaza Selatan jadi Medan Perang
Di utara Rafah pada hari Minggu, militer Israel mengatakan pasukannya melakukan "serangan yang ditargetkan" di sebelah barat Khan Younis, kota utama Gaza selatan.
Sementara Hamas melaporkan telah terjadinya baku tembak dan mengatakan serangan udara juga menghantam Rafah.
Dikutip dari Al Jazeera, mediator telah mengadakan perundingan baru di Kairo, Mesir untuk menghentikan sementara pertempuran.
Selain itu, pembebasan sandera sebanyak 132 orang yang menurut Israel masih di Gaza, juga menjadi pembicaraan dalam perundingan tersebut.
Baca juga: Israel-AS Berunding, Tolak Syarat Dasar Hamas soal Proposal Gencatan Senjata
Hamas menyandera sekitar 240 sandera pada 7 Oktober, menurut otoritas Israel.
Sementara lusinan orang dibebaskan selama gencatan senjata satu minggu di bulan November.
Sayap militer Hamas pada hari Minggu mengatakan dua sandera tewas dan delapan lainnya terluka parah dalam pemboman Israel dalam beberapa hari terakhir.
Netanyahu telah menghadapi seruan untuk mengadakan pemilihan umum lebih awal dan meningkatnya protes atas kegagalan pemerintahannya membawa pulang para sandera.
Kementerian Kesehatan Gaza mengatakan, serangan Israel telah menewaskan sedikitnya 28.176 orang, yang sebagian besar perempuan dan anak-anak.
Baca juga: Israel Klaim Hamas Bangun Terowongan di Bawah Markas UNRWA Gaza, Tuduh untuk Eksploitasi Bantuan PBB
Sementara serangan Hamas di Israel selatan mengakibatkan kematian sekitar 1.139 orang, sebagian besar warga sipil, menurut penghitungan Al Jazeera berdasarkan angka resmi Israel.
Serangan Israel telah menyebabkan sebagian besar wilayah Gaza hancur dan membuat lebih dari 80 persen penduduknya mengungsi.
(Tribunnews.com/Whiesa)