Perpecahan di Dalam Kabinet Perang Israel, PM Benjamin Netanyahu dan Menteri Benny Gantz Tak Sejalan
Analis berikan pandangannya mengenai keretakan di dalam kabinet perang Israel. PM Benjamin Netanyahu dan menteri Benny Gantz tak sejalan.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Febri Prasetyo
TRIBUNNEWS.COM - Kabinet perang Israel, yang awalnya dipandang sebagai simbol persatuan nasional dalam perang melawan Hamas, terguncang akibat persaingan politik antara Perdana Menteri Benjamin Netanyahu dan menteri Benny Gantz yang berhaluan tengah, kata para analis seperti dilansir AFP.
Gantz, mantan panglima militer dan mantan menteri pertahanan, mengunjungi Washington pada hari Senin (4/3/2024) sebelum ke London pada hari Rabu untuk melakukan pembicaraan tingkat tinggi dengan para pejabat di sana.
Perjalanannya itu rupanya tidak diketahui dan tidak diizinkan oleh Netanyahu.
Kunjungan itu menyoroti perpecahan antara kedua tokoh tersebut di saat tekanan internasional meningkat terhadap Israel atas meningkatnya krisis kemanusiaan di Jalur Gaza.
Kunjungan Gantz ke Amerika Serikat, sekutu paling setia Israel, menunjukkan bahwa tingkat kepercayaan AS terhadap Netanyahu sangat rendah, kata Yohanan Plesner, presiden lembaga pemikir Institut Demokrasi Israel.
Gantz ingin memberikan pandangan alternatif terhadap Washington, tambahnya.
Benny Gantz meninggalkan oposisi politik untuk bergabung dengan kabinet perang setelah serangan Hamas pada 7 Oktober.
Tetapi ia berselisih dengan Netanyahu mengenai cara pembebasan sandera dan menyusun strategi keluar dari konflik tersebut.
Perjalanannya ke Washington telah menarik perhatian di Israel, dan menuai kritik keras dari para menteri dari partai sayap kanan Netanyahu, Likud.
“Sepertinya ini semacam subversi,” kata Menteri Transportasi Miri Regev.
Ia menambahkan bahwa Gantz bekerja di belakang perdana menteri.
Baca juga: Menteri Kabinet Perang Israel Terbang ke Amerika tanpa Izin, Netanyahu Marah
Dudi Amsalem, menteri kerja sama regional Israel dan sekutu Netanyahu, mengatakan bahwa Gantz bergabung dengan pemerintah untuk menciptakan persatuan dalam keadaan darurat, bukan untuk menjadi kuda Troya.
Saling benci satu sama lain
“Ketegangan selalu ada di antara dua orang yang saling membenci,” kata Reuven Hazan, seorang profesor ilmu politik di Universitas Ibrani Yerusalem.
Lima anggota membentuk kabinet perang, dengan Netanyahu, Gantz dan Menteri Pertahanan Yoav Gallant dipandang sebagai pemain utama.
Hazan mengatakan Gantz melakukan perjalanan ke Washington dan London dalam upaya untuk menunjukkan bahwa ia memiliki profil yang tepat untuk menjadi calon perdana menteri di masa depan.
Gantz bertemu dengan Wakil Presiden AS Kamala Harris sehari setelah Harris menyampaikan beberapa kritik paling pedas AS terhadap Israel sejak perang.
Selain menyerukan gencatan senjata, Harris juga menyuarakan keprihatinan pemerintah AS atas krisis kemanusiaan di Gaza.
Ia mendesak Israel untuk mengambil tindakan tambahan untuk meningkatkan aliran bantuan.
Israel berjanji untuk melenyapkan Hamas setelah serangan tanggal 7 Oktober yang mengakibatkan kematian sekitar 1.160 orang, menurut hitungan resmi AFP.
Pemboman Israel terhadap Gaza telah menyebabkan lebih dari 30.700 orang tewas dalam lima bulan perang, dan menyebabkan kehancuran yang luas.
Badan-badan PBB juga telah memperingatkan meningkatnya ancaman kelaparan ketika bantuan kesulitan untuk menjangkau warga di Gaza yang membutuhkan.
Presiden AS Joe Biden dan Netanyahu berada dalam konflik terbuka ketika Gedung Putih menekan pemimpin Israel untuk tidak melanjutkan jatuhnya korban sipil dalam jumlah besar di Gaza, kata Hazan.
"Gantz lebih dekat dengan Amerika"
“Gantz tidak seperti Netanyahu, dia lebih dekat dengan sikap Amerika setelah perang," kata Hazan.
"Gantz adalah rekan yang lebih nyaman bagi Washington, lebih terbuka untuk berdialog dengan mitra moderat di kawasan dan lebih terbuka mengenai peran yang dapat dimainkan oleh Otoritas Palestina di Gaza setelah perang," tambah Plesner.
Pekan lalu, Gantz memuji usulan Yoav Gallant untuk mereformasi dinas militer agar dapat memasukkan warga Yahudi ultra-Ortodoks, yang saat ini dikecualikan karena alasan agama.
Namun pengumuman tersebut sangat mengguncang politik Israel dan dianggap oleh beberapa media Israel sebagai tantangan dari Gallant kepada Netanyahu, karena keduanya berasal dari partai yang sama.
Usulan tersebut merupakan sebuah kejutan politik dan memaksa perdana menteri berada dalam situasi yang sulit, karena dua partai utama yang mewakili Yahudi ultra-Ortodoks dapat menggulingkan koalisinya yang berbahaya kapan saja.
"Netanyahu sedang berupaya untuk menghindari pemilu dini, yang akan menguntungkan Gantz dengan cara apa pun," kata Plesner.
Jajak pendapat baru-baru ini menunjukkan bahwa jika pemilu diadakan sekarang, partai Gantz akan memenangkan jumlah kursi terbanyak.
“Jika ada satu isu yang mungkin tidak terkendali dan menyebabkan runtuhnya koalisi, itu adalah karena isu perekrutan ultra-Ortodoks”, kata Plesner.
"Gantz harus mengatur waktu keluarnya dari pemerintahan dengan cara yang bisa membuat warga Israel merasa dia memperhatikan kepentingan Israel sambil menciptakan persepsi bahwa Netanyahu hanya mementingkan kepentingan pribadinya," kata Hazan.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)