Afrika Selatan akan Tangkap Warganya yang Bertugas di Militer Israel, Akankah Negara Lain Mengikuti?
Belum ada negara lain yang menyatakan akan mengadili warga negaranya, kampanye sedang dilakukan untuk mendorong pemerintah lain melakukan hal sama.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Suci BangunDS
Ada dalam program sukarelawan “Mahal” untuk orang-orang Yahudi dan sebagai “tentara tunggal”, bagi yang tidak memiliki keluarga lain di Israel.
Lembaga nirlaba Lone Soldier Center mengatakan ada lebih dari 7.000 tentara asing IDF.
18 persen berasal dari AS dan 14 persen dari negara-negara bekas Uni Soviet.
Afrika Selatan merupakan salah satu negara yang paling keras mengkritik Israel dan perang di Gaza.
Para pemimpinnya sering membandingkan pendudukan Israel di wilayah Palestina dengan diskriminasi rasial yang dilakukan rezim apartheid di Afrika Selatan.
Namun, ada tanda-tanda bahwa negara-negara lain sedang bergulat dengan pertanyaan apakah partisipasi warganya dalam perang dapat atau harus dikriminalisasi, dilansir NBC News.
Di Prancis, anggota parlemen Thomas Portes mengatakan 4.000 warga Prancis ikut serta dalam militer Israel dalam perang di Gaza.
Dalam suratnya pada bulan Desember, ia meminta Menteri Kehakiman Prancis menyelidiki dan mengadili mereka, meskipun tidak ada indikasi pemerintah Prancis berencana mengambil langkah tersebut.
Sementara itu Inggris, yang menghadapi pertanyaan apakah warga negaranya boleh bertugas di IDF, menerbitkan sebuah panduan tertulis.
Panduan itu mengatakan bahwa Inggris mengakui hak warga negara Inggris yang memiliki kewarganegaraan tambahan, untuk bertugas di negara-negara yang angkatan bersenjatanya diakui secara sah, termasuk IDF.
Di AS, upaya apa pun untuk menghukum orang Amerika yang bertugas di IDF sangat kecil kemungkinannya.
Baca juga: Afrika Selatan Siap Tangkap Warganya yang Gabung Tentara Israel di Jalur Gaza
Warga Amerika yang bertugas di militer asing bisa kehilangan kewarganegaraan AS mereka dalam keadaan tertentu.
Misalnya, jika militer tersebut terlibat dalam permusuhan dengan AS.
Namun para ahli undang-undang kewarganegaraan AS mengatakan tidak ada contoh baru-baru ini atas kasus tersebut.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)