'Warming Up' Serangan Darat Israel ke Rafah, Brigade Nahal Berkemas Tinggalkan Gaza
Jelang serangan darat Israel ke Rafah, salah satu unit infanteri utama militer Tel Aviv, Brigade Nahal berkelas tinggalkan Gaza.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Bobby Wiratama
TRIBUNNEWS.COM - Jelang serangan darat Israel ke Rafah, salah satu unit infanteri utama militer Tel Aviv, Brigade Nahal berkemas tinggalkan Gaza.
Media Israel mengatakan Brigade Nahal belum lama ini menyelesaikan lima operasi di Gaza tengah.
Times of Israel melaporkan, setelah misinya di Gaza rampung, mereka diberi waktu untuk beristirahat, berlatih, dan meninjau rencana untuk serangan di masa depan.
Kemarin, seorang pejabat senior pertahanan Israel mengatakan kepada Reuters bahwa militer sepenuhnya siap untuk pindah ke Rafah dan hanya menunggu izin dari pemerintah.
Para pejabat medis Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) berulang kali telah memperingatkan akan dampak serangan besar-besaran di Rafah.
Kota yang berbatas dengan Negeri Firaun ini menjadi tempat sekitar 1,5 juta pengungsi Palestina berlindung.
"Bencana kemanusiaan di luar imajinasi bisa tercipta," kata badan itu.
Pekerja bantuan Belgia tewas dalam pemboman Rafah
Pasukan Israel membunuh seorang pekerja bantuan asal Belgia dan putranya yang berusia tujuh tahun dalam serangan di Rafah, Gaza selatan, kata Menteri Kerja Sama Pembangunan dan Kebijakan Perkotaan Caroline Gennez.
“Dengan sangat sedih saya diberitahu bahwa tadi malam salah satu staf kami terbunuh oleh pemboman Israel,” tulis Gennez di X.
“Abdallah Nabhan dan putranya yang berusia 7 tahun, Jamal, tewas dalam serangan di Rafah,” tambahnya.
Setidaknya tujuh orang tewas akibat serangan terhadap sebuah gedung yang menampung sekitar 25 orang, termasuk pengungsi Palestina dari wilayah lain di Jalur Gaza.
Baca juga: Siapa Lawan 4 Batalyon Tempur Hamas di Rafah? 2 Brigade IDF di Utara Sudah Latihan Khusus ke Gaza
Warga Palestina di Tepi Barat yang diduduki memboikot produk-produk Israel
Meskipun Israel mempunyai kendali yang signifikan atas perekonomian Tepi Barat yang diduduki, banyak warga Palestina di wilayah tersebut berupaya memboikot produk-produk Israel sebagai bentuk perlawanan.
“Listrik, air, dan bahan bakar kami berasal dari [Israel] jadi kami tidak bisa memboikot sepenuhnya,” Salma Anabtawi, seorang mahasiswa di Tepi Barat, mengatakan kepada Al Jazeera.
“Tetapi bahkan jika saya menimbulkan kerugian sebesar 35 persen pada mereka, setidaknya itu yang bisa saya lakukan.”