Ikut Aksi Bela Palestina, Pelajar Internasional Pertaruhkan Status Imigrasi Mereka di AS
Aksi bela Palestina yang diikuti Mahmoud Khalil bisa saja mengancam nasibnya menempuh pendidikan di Amerika Serikat.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Pravitri Retno W
TRIBUNNEWS.COM - Belum lama ini, pelajar di Amerika Serikat (AS) kompak menggelar aksi bela Palestina di kampus-kampus mereka.
Meski demikian, aksi mereka tidak lepas dari tantangan dan bahaya hukum.
Bagi mahasiswa Universitas Columbia, Mahmoud Khalil misalnya, perang Israel di Gaza merupakan hal yang sangat personal.
Dikutip dari Al Jazeera, Khalil yang besar di Suriah merupakan seorang pengungsi dari Palestina yang berusia 29 tahun.
Ketika berpartisipasi dalam aksi bela Palestina di kampusnya, Khalil mengaku merasa gugup.
Dilema yang Khalil rasakan juga dialami oleh pelajar internasional lainnya di AS.
Pemuda itu berada di AS menggunakan visa pelajar F-1.
Izin tinggalnya di negara tersebut, yang notabanenya adalah sekutu Israel, bergantung pada pendaftarannya sebagai siswa penuh waktu.
Akan tetapi, berpartisipasi dalam protes – termasuk berkemah di halaman kampus, bisa menjadi risiko yang harus ia hadapi, skorsing, dan hukuman lain mungkin saja Khalil dapatkan, artinya status pendaftarannya terancam.
"Sejak awal, saya memutuskan untuk tidak tampil di hadapan publik dan menjauh dari perhatian media atau aktivitas berisiko tinggi," kata Khalil.
Ia juga memandang berkemah di halaman kampus sangat berisiko.
Baca juga: 76 Tahun Nakba, Warga AS, Inggris, Kanada, Australia, Belanda Turun ke Jalan Bela Palestina
Khalil pun putar otak, dengan cerdas memilih cara yang terbilang efektif, namun aman untuk masa depannya.
Di awal aksi bela Palestinanya, Khalil memilih menjadi negosiator utama untuk Columbia University Apartheid Divest.
Itu adalah sebuah kelompok mahasiswa yang mendorong administrator sekolah untuk memutuskan hubungan dengan Israel dan kelompok yang terlibat dalam pelanggaran terhadap warga Palestina.
"Saya salah satu orang yang beruntung bisa mengadvokasi hak-hak warga Palestina, orang-orang yang terbunuh di Palestina," kata Khalil, menyebut upaya advokasinya "benar-benar upaya minimal yang bisa saya lakukan".
Khalil menjelaskan, dia bekerja sama dengan pihak universitas untuk memastikan aktivitasnya tidak menimbulkan masalah.
Berdasarkan perbincangannya dengan pimpinan sekolah, Khalil merasa kecil kemungkinannya dia akan mendapat hukuman.
Namun, pada tanggal 30 April, Khalil menerima e-mail dari administrator Columbia yang mengatakan bahwa dia telah diskors, dengan alasan dugaan partisipasinya dalam perkemahan tersebut.
"Saya terkejut," kata Khalil.
"Sungguh konyol bahwa mereka memberhentikan negosiator," ucapnya.
Baca juga: Gemuruh Kampus-kampus di AS Demo Bela Palestina, Bagaimana di Indonesia?
Namun, sehari kemudian – bahkan sebelum Khalil dapat mengajukan banding atas keputusan tersebut – universitas mengiriminya e-mail yang mengatakan bahwa skorsingnya dicabut.
"Setelah meninjau catatan kami dan meninjau bukti dari Keamanan Publik Universitas Columbia, telah diputuskan untuk membatalkan penangguhan sementara Anda," kata e-mail singkat yang terdiri dari tiga kalimat itu.
Khalil mengatakan dia bahkan menerima telepon dari kantor rektor Universitas Columbia yang meminta maaf atas kesalahannya.
Namun pakar hukum dan pembela hak-hak sipil memperingatkan bahwa penangguhan sementara sekalipun dapat menimbulkan konsekuensi buruk bagi pelajar yang bergantung pada visa pendidikan untuk tinggal di negara tersebut.