Kabinet Perang Israel Akhirnya Bubar setelah Gantz Mundur & Netanyahu Dianggap Tak Becus
Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan kabinet perang Israel telah resmi dibubarkan.
Penulis: Febri Prasetyo
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu mengatakan kabinet perang Israel telah resmi dibubarkan, Minggu malam, (16/6/2024).
Adapun kabinet perang adalah forum kecil yang dibentuk tanggal 11 Oktober 2023 dan bertujuan untuk mengurus kampanye militer Israel melawan Hamas dan Hizbullah.
Times of Israel mengabarkan pembentukan kabinet itu adalah permintaan dari Ketua Partai Persatuan Nasional Benny Gantz sebagai syarat bergabung dalam koalisi pemerintahkan.
Namun, Gantz pada pekan lalu telah resmi mundur dari pemerintahan Israel.
Tak hanya Gantz, Gadi Eisenkot yang menjadi anggota dewan dari Partai Persatuan Nasional juga mundur.
Gantz dan Eisenkot mengklaim Netanyahu telah gagal membuat strategi dalam perang di Gaza.
Sementara itu, kantor Perdana Menteri Isral mengklaim kabinet perang tak lagi relevan.
Netanyahu dan Menteri Pertahnaan Yoav Gallant akan menggelar forum konsultasi kecil dengan beberapa pejabat terkait untuk membuat keputusan penting dalam perang di Gaza.
Sebelumnya, Netanyahu mendapat permintaan dari rekannya dalam koalisi, yakni Menteri Keuangan Bezalel dan Menteri Keamanan Nasional Itamar Ben-Gvir, agar keduanya dimasukkan ke dalam kabinet perang.
Masuknya Bezalel dan Ben-Gvir itu akan memperburuk hubungan Israel dengan rekan internasionalnya, termasuk Amerika Serikat (AS).
Keduanya mendesak Israel untuk terus menyerang Gaza meskipun beberapa sekutunya meminta Israel untuk menahan diri.
Baca juga: Pendahulu Netanyahu Kritik Israel: Perang di Gaza Tidak Berhasil, Pemerintah Harus Diganti
"Kabinet ini adalah perjanjian koalisi dengan Gantz, berdasarkan permintaannya. Segera setelah Gantz keluar, tidak perlu ada kabinet lagi," kata Netanyahu.
Dengan keluarnya Gantz, kabinet perang itu tak lagi mempunyai kekuatan sayap tengah. Sebelumnya, Gantz sudah meminta adanya pemilu di Israel.
Di sisi lain, Netanyahu menghadapi tekanan agar membuat pejanjian dengan Hamas supaya sandera bisa dibebaskan.
Situasi terbaru di Gaza
Pada hari Sabtu lalu militer Israel mengumumkan "jeda taktis" di sepanjang satu rute Gaza selatan agar memungkinkan bantuan mengalir lebih banyak.
Meski demikian, Israel menegaskan, pertempuran di Rafah dan di sekitarnya tidak akan berhenti.
Jeda itu akan berlangsung tiap hari dari pukul 08.00 hingga 19.00 waktu setempat hingga ada pengumuman selanjutnya.
Dengan jeda itu, truk bantuan bisa menyeberangi perlintasan Kerem Shalom yang menjadi pintu masuk utama bantuan ke Gaza selatan.
Dilansir CNN, Pasukan Pertahanan Israel (IDF) akan membuka rute dari Kerem Sahlom ke Al Bayuk dan Rumah Sakit Eropa di Khan Youni pada siang hari untuk keperluan mengangkut bantuan.
Israel menyebut, hal itu akan dikoordinasikan dengan organisasi intenasional sebagai bagian dari upaya untuk meningkatkan aliran bantuan.
Namun, menurut IDF, pertemuran di Rafah akan berlanjut. "Tidak ada perubahan dalam masuknya bantuan ke Gaza," kata IDF.
Baca juga: Umat Muslim Gaza Shalat Idul Adha di Tengah Reruntuhan, Tanpa Santapan Daging Kurban
Direktur UNRWA Scott Anderson menyambut baik "jeda taktis" itu. Dia berharap jeda itu bisa membuat pihaknya bergerak.
Namun, juru bicara UNICEF, James Elder, memperingatkan bahwa jeda itu tidak bisa menggantikan gencatan senjata di Gaza.
"Sayangnya, saya tidak tahu [sampai kapan jeda itu berlangsung], ini pertanyaan bagi pihak pendudukan, bagi Israel dan militernya," kata Elder.
Di sisi lain, jeda itu dikritik oleh para pejabat senior Israel, termasuk Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Menurut seorang pejabat Israel, Netanyahu tidak senang ketika pertama kali mendengarnya.
Netanyahu kemudian menghubungi sekretaris militernya dan berujar bahwa ide itu tidak bisa diterima, kecual jika dia sudah diberi jaminan bahwa pertempuran di Rafah tetap berlanjut.
Menteri Keamanan Ben Gvir yang berasal dari sayap kanan juga mengkritik jeda itu.
"Siapa pun yang memutuskan adanya 'jeda taktis' untuk kepentingan transisi kemanusiaan, terutama pada waktu ketika tentara-tentara terbaik kita meninggal dalam pertempuran itu, adalah jahat dan bodoh, yang seharusnya tidak meneruskan pandangannya," kata Gvir.
(*)