Sosok Aziz Dweik yang Seharusnya Jadi Presiden Palestina, Pernah 7 Kali Ditahan Israel
Dr. Aziz al-Dweik disebut-sebut sebagai sosok yang seharusnya bisa menjadi Presiden Otoritas Palestina menggantikan Mahmoud Abbas.
Penulis: Febri Prasetyo
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
TRIBUNNEWS.COM – Dr. Aziz al-Dweik atau Abu Hisham disebut-sebut sebagai sosok yang seharusnya bisa menjadi Presiden Otoritas Palestina.
Dweik saat ini menjadi salah satu dari warga Palestina yang ditargetkan Israel dalam kampanye Israel. Dia juga berulang kali ditahan oleh Israel.
Jurnalis dan analis politik Robert Inlakesh mengatakan Dweik seharusnya bisa menjadi pemimpin tertinggi Otoritas Palestina.
Dalam tulisannya di laman Palestine Chronicle, Inlakesh mengungkapkan profil dan sepak terjang Dweik.
Dweik lahir tanggal 12 Januari 1948 di Kairo, Mesir. Ibunya awalah warga Mesir, sedangkan ayahnya seorang warga Palestina. Dia tumbuh besar di Kota Al-Khalil di Tepi Barat.
Pria Palestina itu meraih gelar doktor bidang perencanaan perkotaan dari Universitas Pennsylvania di Amerika Serikat (AS).
Dia dikenal menjadi pendiri Jurusan Geografi pada Universitas Nasional An-Najah di Kota Nablus.
Selain itu, dia menjabat staf humas pada Asosiasi Kawan Pasien dan Sekretaris Serikat Pekerja di An-Najah.
Keterlibatan politiknya dengan gerakan Persudaraan Muslim dan Hamas di Palestina berawal pada tahun 1990-an.
Ada indikasi bahwa dia terafiliiasi dengan Mujamma Islamiyyah yang menjadi pendahulu Hamas.
Pada tahun 1992 dia dituding punya afiliasi dengan Hamas dan gerakan Jihad Islam Palestina.
Baca juga: Pejabat Tinggi Israel, Tzachi Hanegbi Mengatakan Mustahil Menghilangkan Hamas, Begini Katanya
Dweik kemudian dideportasi oleh Israel ke Marj al-Zuhour di Lebanon Selatan. Pada masa itu dia disebut sebagai salah satu kawan terdekat pemimpin Hamas yang bernama Dr. Abdel Aziz al-Rantisi.
Dia lebih memilih berkarier dalam bidang akademik daripada politik. Dweik menikah dan dikaruniani tujuh anak.
Pemilu 2006
Pada tahun 2006 Dweik masih mengklaim tidak menjadi anggota Hamas.
Namun, dia dicalonkan untuk maju dalam Pemilihan Legislatif Nasional Palestina lewat Partai Perubahan dan Reformasi yang didukung Hamas.
Partai itu menang telak dan mengalahkan lawannya, Fatah.
Kemenangan Hamas dalam Pemilu 2006 membuat Dweik bisa menjabat sebagai Ketua Majelis Legislatif Palestina.
Secara teknis, dia akan menjadi suksesor Presiden Otoritas Palestina (OP) Mahmoud Abbas menurut Hukum Dasar OP.
Tiga tahun kemudian masa jabatan Abbas sudah berakhir. Hamas mengumumkan bahwa Dweik adalah pemimpin sah PO sesuai dengan hukum itu.
Dweik akan menduduki posisi itu. Namun, AS dan Israel menolak menerima pemerintahan Hamas.
Dia dan pejabat Palestina lain dari Hamas dicegah untuk melakukan pekerjaannya oleh Abbas.
Baca juga: Puluhan Tentara Cadangan Israel Membangkang, Tolak Kembali ke Gaza karena IDF Kejam kepada Sipil
Karena AS dan Uni Eropa menjadi penyumbang dana terbasa untuk Otoritas Nasional Palestina (PNA), keduanya menjatuhkan sanksi kepada Hamas.
Keduanya juga menjalin kesepakatan dengan Abbas untuk mencegah pemerintahan Hamas. Sebagai gantinya, PNA akan terus mendapatkan dana dari Barat.
Setelah disumpah sebagai Ketua Majelis Legislatif Palestina, Dweik mengomentari penolakan Barat untuk menerima demokrasi Palestina.
“Orang yang lapar adalah orang yang marah. Kita berharap dunia tidak akan mengizinkan rakyat Palestina menderita karena ini hanya akan membuat orang-orang menjadi lebih radikal,” katanya kala itu.
“Pesan saya kepada Israel ialah hentikan pendudukan, dan tidak akan ada pertempuran.”
Beberapa bulan kemudian, rumahnya dikepung puluhan kendaraan militer Israel. Dia pun diculik dan ditempatkan di tahanan hingga tahun 2009 ketika kesehatannya menurun.
Pada tahun 2014 Dweik kembali ditangkap bersama dengan anggota Hamas di Tepi Barat.
Penangkapan tersebut terjadi setelah ada peristiwa hilangnya tiga pemukim Israel. Insiden itu digunakan untuk membenarkan serangan besar Israel terhadap warga sipil pada tahun itu.
Adapun pada tahun 2018 Abbas membubarkan Majelis Legislatif Palestina.
Dia juga melarang Dweik memasuki Ramallah guna menghadiri rapat pemerintahan.
Mobil Dweik diberhentikan oleh satuan keamanan Otoritas Palestina. Dia diberi tahu bahwa dia tak lagi dianggap sebagai kepala majelis, dan bahkan menteri.
Baca juga: Tentara Zionis Diduga Berkonspirasi untuk Gulingkan Netanyahu, Istri PM Israel Singgung Kudeta
Menurut Inlakesh, tindakan Abbas itu adalah simbol perlawanan terhadap Hamas.
Adapun Dweik sudah ditahan sebanyak tujuh kali oleh Israel. Penangkapan terakhir terjadi tanggal 17 Oktober 2023.
Menurut Inlakesh, meskipun AS, Israel, dan Abbas tak pernah mengizinkan Dweik menjalankan kewajibannya sebagai pemimpin terplih, Dweik menjadi pengingat akan adanya ketidakadilan terhadap rakyat Palestina dan kemampuan rakyat Palestina untuk menyelenggarakan pemerintahan sendiri.
(Tribunnews/Febri)