Buat Geram Bos IDF, Netanyahu Dituntut Minta Maaf usai Kritik Militer Israel, Halevi: Ini Serius
Kepala IDF menuntut Benjamin Netanyahu meminta maaf setelah mengkritik militer Israel di tengah situasi kurangnya pasukan.
Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.com - Pernyataan Perdana Menteri Israel, Benjamin Israel, terkait Pasukan Pertahanan Israel (IDF), membuat Kepala IDF, Herzi Halevi, geram.
Halevi menuntut Netanyahu meminta maaf karena telah mengkritik militer Israel.
Diketahui, Netanyahu mengatakan IDF tak memberikan tekanan yang cukup terhadap Hamas untuk mencapai kemajuan dan perundingan pertukaran sandera, menurut laporan lokal, Selasa (16/7/2024).
Dalam konferensi pers, Sabtu (13/7/2024), Netanyahu mengungkapkan, "Selama berbulan-bulan, tidak ada kemajuan (di Gaza) karena tekanan militer (terhadap Hamas) tidak cukup kuat."
"Saya juga berpikir, demi kesepakatan penyanderaan dan demi kemenangan atas Hamas, kita harus memasuki Rafah," imbuh dia, menurut Channel 12 Israel.
Di kesempatan yang sama, Netanyahu juga mengatakan, apabila Israel mencapai kemajuan di Gaa, itu karena militer telah menghimpun kekuatan.
Ia juga menolak tuduhan yang mengatakan "saya menunda (kesepakatan penyanderaan), itu benar-benar kebalikannya."
Pernyataan Netanyahu itu memicu kegeraman Halevi.
Selama pertemuan pada Minggu (14/7/2024), yang juga dihadiri kepala dua badan keamanan utama Israel, Shin Bet dan Mossad, Halevi mendesak Netanyahu untuk meminta maaf.
"Ini (komentar Netanyahu) sangat serius. Saya menuntut Perdana Menteri untuk menyampaikan permintaan maaf," ujar Halevi, dilansir Anadolu Ajansi.
Tetapi, menurut Channel 12 Israel, Netanyahu belum menyampaikan permintaan maaf hingga saat ini.
Baca juga: Diduga Terlibat Organisasi Terafilisasi Israel, MUI Nonaktifkan Dua Anggotanya
Menanggapi permintaan Halevi, seorang juru bicara militer mengatakan, "Kami tidak menanggapi apa yang disampaikan dalam diskusi tertutup."
Para pejabat di kantor Netanyahu juga menyampaikan hal serupa.
Mereka mengaku "tidak mengetahui adanya pernyataan seperti itu dalam pertemuan keamanan baru-baru ini."
Diketahui, perselisihan antara Netanyahu dan para pemimpin militer sudah beberapa kali terjadi sejak agresi di Gaza pada 7 Oktober 2023.
Perselisihan itu, terutama soal siapa yang harus bertanggung jawab atas Operasi Banjir Al-Aqsa yang dilancarkan Hamas, kerap muncul ke publik.
Saat ini, Israel tengah menghadapi kecaman internasional di tengah genosida di Jalur Gaza.
Lebih dari 38.700 warga sipil Palestina tewas, mayoritas anak-anak dan perempuan, sementara lebih dari 89.000 lainnya terluka.
Militer Israel Kekurangan Pasukan
Sementara itu, militer Israel bakal segera memulai proses perekrutan pasukan dari komunitas Yahudi Ultra-Ortodoks pada pekan depan.
Pernyataan ini disampaikan langsung oleh militer Israel, Selasa (16/7/2024), dilansir Reuters.
Baca juga: PLO Kutuk Pembantaian Israel di Gaza dan Eskalasi di Tepi Barat, Bertanggung Jawab atas Genosida
Militer Israel mengatakan mulai Minggu (21/7/2024), "proses penerbitan perintah pemanggilan tahap awal untuk panggilan pertama" menjelang perekrutan bulan Juli, akan dilakukan.
Di hari yang sama, bentrokan terjadi antara pengunjuk rasa Yahudi Ultra-Ortodoks dan polisi.
Puluhan dari Yahudi Ultra-Ortodoks memblokor jalan raya utama Israel sebagai bentuk protes, tapi dengan cepat bisa dibubarkan.
Di hari yang sama, militer Israel mengakui mereka mengalami kekurangan tank, amunisi, hingga pasukan, di tengah serangan yang sedang berlangsung di Jalur Gaza.
Militer Israel mengungkapkan banyak tank rusak selama serangan ke Gaza dan amunisi sangat terbatas.
Kurangnya pasukan membuat munculnya petisi yang menuntut penggabungan pasukan wanita ke dalam Korps Lapis Baja Angkatan Darat.
Meski demikian, belum ada tindak lanjut mengenai usulan itu lantaran jumlah tank yang tak memadai.
"Jumlah tank operasional di Korps itu tidak mencukupi untuk kebutuhan perang dan untuk melakukan eksperiman penempatan pasukan wanita," lapor harian Israel, Yedioth Ahronoth.
Sebagai informasi, topik perekrutan Yahudi Ultra-Ortodoks ini sangat sensitif di tengah serangan Israel di Jalur Gaza.
Menurut aturan yang berlaku, warga Israel diwajibkan bertugas di militer sejak usia 18 tahun selama 24-32 bulan.
Tetapi, komunitas Yahudi Ultra-Ortodoks sebagian besar dikecualikan dari aturan itu, selama beberapa dekade.
Pada Juni 2024, Mahkamah Agung Israel memutuskan Kementerian Pertahanan harus mencabut aturan pengecualian bagi Yahudi Ultra-Ortodoks.
Hal itu memicu ketegangan politik baru bagi pemerintahan Benjamin Netanyahu.
Sebab, koalisi Netanyahu mencakup dua partai Ultra-Ortodoks yang menganggap pengecualian itu sebagai kunci untuk menjaga konstituen mereka.
Baca juga: Dua Anggota MUI yang Ikut Organisasi Terafiliasi Israel Bakal Diberhentikan
Keputusan Mahkamah Agung Israel itu telah memicu protes oleh penganut Yahudi Ultra-Ortodoks.
Sebagai informasi, jumlah Yahudi Ultra-Ortodoks mencapai 13 persen dari 10 juta penduduk Israel.
Angka itu diperkirakan akan mencapai 19 persen pada tahun 2035.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)