Iran Segera Menyerang, Knesset Israel: Serbuan IDF ke Lebanon Jadi Bencana yang Belum Pernah Terjadi
Anggota Knesset Israel mengkritik rencana penyerbuan darat IDF ke Lebanon karena tidak mengatasi kesalahan yang dibuat selama agresi militer di Gaza
Penulis: Hasiolan Eko P Gultom
Iran Segera Menyerang, Knesset Israel: Serbuan ke Lebanon Bisa Jadi Bencana yang Belum Pernah Terjadi
TRIBUNNEWS.COM - Anggota Knesset (Parlemen Israel) memperingatkan agar militer pendudukan Israel (IDF) tidak melakukan penyerbuan ke Lebanon.
Menurut laporan RNTV, anggota Knesset dari Pendudukan Israel menyuarakan kekhawatiran mereka pada Jumat (2/7/2024) atas rencana militer IDF saat ini untuk melakukan penyerbuan darat ke Lebanon.
Baca juga: Eks-Pejabat Keamanan Israel: Kematian Ismail Haniyeh Tak akan Mengubah Kemampuan Militer Hamas
"Beberapa anggota Knesset menggambarkan rencana tersebut sebagai cacat dan memperingatkan bahwa hal itu dapat menyebabkan kegagalan yang membawa bencana dengan konsekuensi yang belum pernah terjadi sebelumnya," tulis laporan tersebut dikutip Sabtu (3/7/2024).
Mereka mengkritik rencana tersebut karena IDF tidak mengatasi kesalahan yang mereka buat saat melancarkan agresi militer darat di Gaza selam sepuluh bulan terakhir.
Perbatasan antara Pendudukan Israel dan Lebanon telah menyaksikan eskalasi dan pertukaran tembakan hampir setiap hari antara militer IDF dan Hizbullah sejak agresi di Gaza dimulai pada tanggal 7 Oktober.
Baca juga: Cuma 5 Km dari Pasukan Hizbullah, Pemukim Israel di Galilea Cemas Jadi Sasaran Terbuka Pembalasan
Pembunuhan pemimpin politik Hamas Ismail Haniyeh terjadi hanya beberapa jam setelah militer membunuh komandan senior Hizbullah Fuad Shukr di Beirut, yang semakin meningkatkan kekhawatiran akan meluasnya konflik.
Sekretaris Jenderal Hizbullah, Hassan Nasrallah, memperingatkan Pendudukan Israel pada Kamis bahwa mereka harus bersiap menghadapi pembalasan, dengan menyatakan kalau pembalasan tidak dapat dihindari.
Malam harinya, Hizbullah mengumumkan telah menembakkan lusinan roket ke wilayah utara Pendudukan Israel sebagai balasan atas serangan udara di Lebanon selatan yang menewaskan empat pengungsi Suriah.
Ini menandai serangan pertama Hizbullah sejak pembunuhan Shukr pada Selasa.
Sebagai tanggapan, militer Pendudukan Israel melancarkan serangan udara di lokasi di Lebanon selatan tempat roket ditembakkan dan menembaki sasaran di desa Rmeish dan Ramyah.
Pembunuhan Haniyeh dan Shukr dipandang sebagai perkembangan signifikan yang semakin meningkatkan ketegangan regional di tengah agresi yang sedang berlangsung di Gaza.
Setelah pembunuhan Haniyeh, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei bersumpah untuk memberikan "hukuman berat" kepada Pendudukan Israel, dengan menyatakan bahwa membalas kematian Haniyeh adalah kewajiban.
Iran Janjikan Serangan Cepat dan Berat
Terkait pembalasan Teheran ke Tel Aviv, Diplomat Iran yang tak disebutkan namanya, menyebut persiapan Israel menghadapi serangan balas dendam Teheran atas tewasnya Kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh, sia-sia.
Sebagai informasi, Wall Street Journal pada Jumat (2/8/2024), melaporkan Israel dan Amerika Serikat (AS) sama-sama sedang mempersiapkan "serangan balasan Iran yang tidak terduga terhadap Israel secepatnya, akhir pekan ini."
Terkait hal itu, diplomat Iran menegaskan Israel telah melewati garis batas yang ditetapkan Teheran.
Diplomat itu juga memastikan serangan balasan Iran akan berlangsung cepat dan mematikan.
"Tidak ada gunanya (bersiap menghadapi serangan Iran). Israel telah melewati semua garis merah. Respons kami akan cepat dan berat," kata diplomat, dilansir Anadolu Ajansi.
Diplomat tersebut, yang diberi pengarahan Iran, mengatakan upaya berbagai negara untuk meyakinkan Teheran agar tidak melakukan eskalasi telah dan akan sia-sia, mengingat serangan Israel baru-baru ini.
Tanggapan diplomat itu muncul setelah Pentagon mengumumkan, Amerika Serikat (AS) akan mengerahkan aset militer tambahan ke Timur Tengah, di tengah meningkatnya ketegangan.
Menteri Pertahanan AS, Lloyd Austin, sebagaimana diumumkan Pentagon, telah memerintahkan pengerahan kapal perang angkatan laut tambahan, jet tempur, dan sistem pertahanan rudal balistik di Timur Tengah.
Perintah ini diberikan untuk mengantisipasi tanggapan Iran dan Poros Perlawanan terhadap pembunuhan Haniyeh dan komandan senior Hizbullah, Fuad Shukr, baru-baru ini.
Menurut Pentagon, Austin telah memberi tahu Israel lewat Menteri Keamanan, Yoav Gallant, mengenai rencana tersebut, dikutip dari Al Mayadeen.
"Menteri (Lloyd) Austin telah memerintahkan penyesuaian postur militer AS yang dirancang untuk meningkatkan perlindungan pasukan AS, meningkatkan dukungan bagi pertahanan Israel, dan memastikan Amerika Serikat siap menanggapi berbagai kemungkinan," kata juru bicara, Sabrina Singh, dalam sebuah pernyataan, Jumat.
Diketahui, Presiden AS, Joe Biden, dan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, membahas melalui panggilan telepon pada Kamis (1/8/2024), pengerahan militer AS untuk mendukung Israel melawan ancaman.
Biden menegaskan kembali komitmennya terhadap keamanan Israel terhadap semua ancaman dari Iran, termasuk "kelompok teroris proksi" Hamas, Hizbullah, dan Houthi.
"Presiden membahas upaya untuk mendukung pertahanan Israel terhadap berbagai ancaman, termasuk rudal balistik dan pesawat tanpa awak, termasuk penempatan militer defensif AS yang baru," menurut Gedung Putih.
Mesir dan Saudi Bahas Potensi Eskalasi Regional
Di saat yang bersamaan, Kementerian Luar Negeri Mesir mengatakan Badr Abdelatty dan mitranya dari Arab Saudi, Faisal bin Farhan, berdiskusi membahas eskalasi regional yang "berbahaya" menyusul pembunuhan Haniyeh dan Shukr oleh Israel.
Menteri dari dua negara itu menjajaki "cara-cara untuk meningkatkan kerja sama antara Mesir dan Saudi di berbagai bidang", lewat panggilan telepon.
Mereka juga membahas "ketegangan regional yang mengkhawatirkan akibat tindakan ekstremis Israel dan pola pembunuhan."
"Sangat penting untuk menghentikan eskalasi yang sedang berlangsung dan menuntut tanggung jawab negara-negara adikuasa, khususnya AS, dalam menekan eskalasi itu," kata Abdelatty.
Sementara, Faisal menyatakan harapannya agar "hubungan bilateral dilanjutkan untuk memperkuat koordinasi pada isu-isu regional."
(oln/rntv/*)