Sandera Israel Tak Jadi Prioritas, Netanyahu Pilih Pertahankan Kendali atas Koridor Philadelphia
Benjamin Netanyahu lebih memilih mempertahankan kendali atas koridor Philadelphia, ketimbang memulangkan sandera Israel.
Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.com - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, tampaknya tak menjadikan sandera Israel sebagai prioritas dalam pembicaraan negosiasi gencatan senjata dengan Gerakan Perlawanan Palestina, Hamas.
Kepada anggota senior tim negosiasi baru-baru ini, Netanyahu mengatakan dia "lebih memilih Koridor Philadelphia jika harus memilih antara sandera dan mempertahankan kendali atas koridor tersebut," menurut Channel 12 Israel, dilansir Al Mayadeen.
Sebagai informasi, Koridor Philadelphia, yang juga dikenal sebagai Poros Salah al-Din, adalah wilayah dengan luas sekitar 14 kilometer di sepanjang perbatasan antara Mesir dan Jalur Gaza, dikutip dari Egypt Today.
Koridor ini membentang dari Laut Mediterania di utara hingga persimpangan Kerem Shalom di selatan.
Di saat yang sama, Juru Bicara Militer Israel, Daniel Hagari, mengungkapkan pihaknya sedang bekerja maksimal untuk bisa menciptakan kondisi yang menguntungkan, di mana sandera di Jalur Gaza, bisa dipulangkan.
"Pekerjaan sedang berlangsung sepanjang waktu untuk menciptakan kondisi yang menguntungkan bagi pemulangan semua sandera dari Gaza," ungkapnya.
Meski demikian, Hagari mengakui kegagalan dari pihaknya dalam "memulangkan semua sandera melalui operasi militer."
Ia mengumumkan penyelidikan akan dilakukan terhadap kematian enam sandera Israel yang jasadnya ditemukan di terowongan di Khan Younis, Gaza selatan, Selasa (20/8/2024).
Menurut Hagari, kematian enam sandera itu "masih belum jelas".
Sementara itu, surat kabar Israel, Yedioth Ahronoth, melaporkan enam sandera itu diduga tewas akibat kebocoran gas di terowongan tersebut selama serangan Israel berlangsung.
Kematian para sandera itu dikaitkan dengan serangan militer Israel, kata harian itu, tanpa mengungkapkan sumber informasi tersebut.
Baca juga: Eks Jenderal Israel: Kami Tak Siap Hadapi Rudal Iran dan Proksinya, Seluruh Negara Akan Hancur
Yedioth Ahronoth mengklaim insiden itu terjadi sekitar enam bulan lalu, selama serangan militer Israel Divisi ke-98 di Khan Younis.
Bukti yang dikumpulkan dari tempat kejadian pada Senin (19/8/2024) malam dan Selasa, mendukung penilaian awal ini, yang masih diselidiki, kata harian tersebut.
Laporan itu mengklaim tentara Israel tidak menargetkan terowongan secara langsung tempat para sandera disekap, melainkan menyerang target Hamas di dekatnya.
Serangan itu lantas mengakibatkan kebakaran dan pelepasan gas karbon dioksida yang mematikan di dalam terowongan.
Beberapa pejuang Hamas ditemukan tewas bersama para sandera Israel.
Mereka bersenjatakan senapan Kalashnikov dan tidak menunjukkan tanda-tanda cedera, lanjut Yedioth Ahronoth.
Daniel Hagari Bakal Mundur setelah Gencatan Senjata Tercapai
Sebelumnya, Kepala Staf Pasukan Pertahanan Israel (IDF), Herzi Halevi, mengatakan akan segera mengundurkan diri dari jabatannya setelah gencatan senjata sementara di Gaza tercapai.
Hal ini disampaikan Halevi dalam diskusi tertutup, media Israel melaporkan pada Senin (19/8/2024), mengutip sebuah sumber.
Sumber itu menambahkan pejabat militer lainnya juga diperkirakan mengundurkan diri bersama Halevi.
Baca juga: Lapid Sentil Netanyahu, Minta Setop Sabotase Negosiasi Gencatan Senjata Sebelum Semua Sandera Mati
Halevi telah mengindikasikan, tujuan perang di Gaza yang belum tercapai "adalah pengembalian para tawanan dan pemusnahan Yahya Sinwar", menurut media Israel.
Pada Minggu (18/8/2024), media Israel melaporkan, selama pertemuan dengan Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, Halevi menyatakan "ada syarat untuk kesepakatan tersebut (gencatan senjata) dan adalah hal yang bijaksana untuk melakukan negosiasi demi mencapai hasil terbaik."
Mengenai Koridor Philadelphi, jenderal tertinggi IDF itu mengatakan ia "tidak menyarankan agar kita (Israel) menjadikannya hambatan dalam mencegah memulangkan 30 tahanan Israel pada tahap pertama."
Halevi sebelumnya mengakui bertanggung jawab atas kegagalan IDF dalam mencegah Operasi Banjir Al-Aqsa oleh Hamas pada 7 Oktober 2023.
"Sebagai komandan IDF, saya bertanggung jawab atas fakta kegagalan kami dalam melindungi warga Israel pada 7 Oktober," ujarnya pada Mei 2024 lalu.
Saat itu, ia menambahkan, "Saya adalah komandan yang mengirim putra-putri Anda ke medan perang dan ke tempat-tempat di mana mereka diculik."
Halevi juga mengakui tanggung jawab untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan sulit.
Ia juga mengakui Israel membayar harga yang mahal dalam perang di Gaza.
Sebagai informasi, selama berbulan-bulan, AS, Qatar, dan Mesir telah berupaya mencapai kesepakatan antara Israel dan Hamas untuk memastikan pertukaran tahanan dan gencatan senjata, serta mengizinkan bantuan kemanusiaan memasuki Gaza.
Namun, upaya mediasi terhenti karena Netanyahu menolak memenuhi tuntutan Hamas untuk menghentikan perang.
Dikutip dari Anadolu Ajansi, Israel terus melancarkan serangan brutal di Jalur Gaza menyusul serangan Hamas pada 7 Oktober 2023, meskipun ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera.
Serangan Israel tersebut telah mengakibatkan lebih dari 40.170 kematian warga Palestina, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan lebih dari 92.740 cedera, menurut otoritas kesehatan setempat.
Blokade Gaza yang terus berlanjut telah mengakibatkan kekurangan makanan, air bersih, dan obat-obatan yang parah, sehingga sebagian besar wilayah hancur.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)