Prancis Kacau, Macron Enggan Pilih Perdana Menteri dari Koalisi Pemenang Pemilu, Diancam Dimakzulkan
Macron diharapkan memilih perdana menteri dari partai atau koalisi pemenang pemilu, tetapi ia tidak melakukannya, yang memicu kekacauan politik.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
Tetapi sebenarnya, untuk memenangkan pemilu secara mutlak, partai atau koalisi harus mendapatkan setidaknya 289 dari 577 kursi di National Assembly atau Majelis Nasional (majelis rendah pada Parlemen Prancis).
Terdapat tiga aliansi yang mendominasi, tetapi semuanya gagal meraih suara mayoritas.
Mereka adalah:
- Front Populer Baru (NFP), sebuah aliansi luas partai-partai sayap kiri dan lingkungan hidup, memenangkan jumlah kursi terbanyak, 188 kursi.
- Ensemble! koalisi sentris yang dipimpin oleh Presiden Prancis Emmanuel Macron, berada di urutan kedua dengan 161 kursi.
- National Rally (RN) dan sekutunya, yang dipimpin oleh pemimpin sayap kanan Marine Le Pen, memenangkan 142 kursi.
Karena tidak satu pun dari ketiga aliansi tersebut yang memenangkan mayoritas, Prancis memiliki parlemen yang menggantung.
Pemerintahan koalisi perlu dibentuk antar aliansi atau antar partai politik.
Namun perlu diingat, perdana menteri Prancis dipilih bukan berdasarkan hasil pemilu, tetapi penunjukan langsung oleh presiden.
Macron yang saat ini masih menjabat, berhak menunjuk seseorang dari partai lain sebagai perdana menteri, meski hal tersebut dapat memicu keributan politik seperti yang terjadi saat ini.
NFP telah mengajukan Lucie Castets, seorang ekonom berusia 37 tahun dan direktur urusan keuangan di Balai Kota Paris, sebagai kandidat perdana menteri.
Baca juga: Alasan Prabowo Temui Jokowi, Ungkap Pertemuannya dengan Putin, Erdogan, dan Macron
Ancaman Pemakzulan
Setelah pengumuman hari Senin, Jean-Luc Mélenchon, presiden France Unbowed (LFI), menuduh Macron menciptakan "situasi yang sangat serius".
LFI menyerukan demonstrasi yang mendesak presiden untuk menghormati demokrasi dan mengatakan akan mengajukan mosi pemakzulan Macron.
“Presiden republik tidak mengakui hasil hak pilih universal, yang menempatkan Front Populer Baru di puncak pemungutan suara,” katanya dalam sebuah pernyataan.