Krisis Ekonomi Berangsur Pulih, Sri Lanka Kini Hadapi Pemilu Krusial
Sri Lanka tunjukkan tanda pemulihan, dua tahun setelah ekonominya ambruk. Menjelang pemilu yang krusial, pertanyaan utamanya akankah…
Dua tahun yang lalu, seorang penjual makanan makanan tradisional yang populer dengan gerobak, Fathima Shiyama, terpaksa mengantre bahkan terkadang hingga berhari-hari, hanya untuk mendapatkan gas, bahan bakar, dan kebutuhan penting lainnya. Itu adalah ujian baginya dan jutaan warga Sri Lankasaat negara di Asia Selatan itu mengalami krisis parah ekonomi dan politik.
Shiyama mengatakan, sekarang walaupun ekonomi berangsur pulih, ia masih belum mendapatkan penghasilan yang cukup, untuk memenuhi kebutuhan hidup dan membayar biaya tes kesehatan anaknya yang sedang sakit
Di bawah kepemimpinan Presiden Ranil Wickremesinghe, yang menggantikan Gotabaya Rajapaksa yang dipaksa mundur oleh gelombang aksi demonstrasi rakyat pada 2022, ekonomi Sri Lanka berangsur pulih. Seiring dengan persiapan Sri Lanka menghadapi pemilihan presiden yang krusial, indikator ekonomi utama mulai membaik dan inflasi hampir terkendali setelah mencapai puncaknya di angka 70%.
Pemilu yang digelar pada Sabtu (2/09) akan menjadi ajang perebutan kekuasaan antara Wickremesinghe, dengan pemimpin oposisi Sajith Premadasa dan Anura Dissanayake, pemimpin koalisi yang semakin populer. H
Warga Sri Lanka yang biasanya memilih berdasarkan latar belakang agama dan etnis, kini akan mulai mempertimbangkan keadaan ekonomi negara saat mereka memberikan suara dan memilih presiden baru pada akhir pekan ini. Hasil pemungutan suara akan mulai diumumkan sehari sesudahnya Minggu (22/09).
Janji kemakmuran Sri Lanka di tengah pemulihan ekonomi
Semua kandidat telah berjanji untuk memimpin Sri Lanka menuju masa depan yang makmur dengan mengembangkan industri baru, meningkatkan pertanian, memperluas basis pajak untuk meningkatkan pendapatan dan menciptakan puluhan ribu lapangan kerja baru.
Di bawah kepemimpinan Wickremesinghe, Sri Lanka juga telah bernegosiasi dengan para kreditor internasional untuk merestrukturisasi utang negara dan mengembalikan perekonomian negara itu ke jalur yang benar. Dengan kesepakatan restrukturisasi obligasi negara, Sri Lanka akan mendapatkan lebih dari $17 miliar (sekiat Rp256 triliun) dana segar, dalam bentuk keringanan pembayaran utang, ungkap kemenkeu.
Tahun lalu, Dana Moneter Internasional (IMF) juga telah menyetujui program dana talangan untuk periode empat tahun. Tapi banyak warga Sri Lanka yang tidak senang dengan usaha pemerintah untuk meningkatkan pendapatan, dengan cara menaikkan tarif listrik dan membebankan pajak yang cukup tinggi kepada para pekerja profesional dan pebisnis, demi memenuhi syarat-syarat IMF untuk mendapatkan bantuan tersebut.
Secara keseluruhan, kondisi ekonomi Sri Lanka telah membaik setelah bencana kemarau panjang dan pandemi Covid-19. Pendapatan dari sektor pariwisata yang cukup signifikan juga berangsur meningkat, dan rupee Sri Lanka telah pulih. Namun kenaikan harga karena langkah-langkah penghematan pemerintah justru menekan banyak rumah tangga.
"Kami berada dalam masa yang sangat kritis,” kata Murtaza Jafferjee, seorang analis ekonomi dan ketua Advocata Institute, sebuah lembaga pemikir kebijakan independen yang berbasis di Kolombo.
"Perekonomian mulai membaik,” katanya, namun belum sepenuhnya pulih. Pemerintah harus menargetkan pertumbuhan setidaknya 4% tahun ini, bukan target 3%. Para politisi harus fokus pada kebijakan-kebijakan yang tidak hanya menguntungkan para elit negara ini, kata Jafferjee lebih lanjut.
"Sudah saatnya kita menjalankan negara ini untuk kepentingan 22 juta orang,” tegasnya.
Banyak yang tidak terkesan dengan janji-janji para kandidat
"Kita telah melihatnya di masa lalu, para politisi menjanjikan banyak hal, tetapi ketika sudah berkuasa mereka mengabaikan apa yang telah mereka katakan saat kampanye,” kata W.A. Wijewardena, seorang analis ekonomi dan mantan deputi gubernur bank sentral Sri Lanka.
Analis ekonomi Jafferjee mengatakan, pemilihan kali ini "sangat krusial” untuk pemulihan ekonomi Sri Lanka. Presiden berikutnya harus menggunakan kekuasaan eksekutifnya untuk "memberlakukan kebijakan-kebijakan yang pro-konsumen” , dan lebih terbuka terhadap perdagangan.
"Krisis ini bukannya tidak dapat diatasi, tetapi mereka harus membuat pilihan-pilihan yang tidak populer. Pada dasarnya, yang kita butuhkan adalah seorang presiden yang ingin mengembangkan perekonomian,” ujar Jafferjee yang ketua Advocata Institute di Kolomno itu.
Sementara itu, warga Sri Lanka yang terpaksa mencari pekerjaan di luar negeri seperti Viraj Maduranga, sudah tidak sabar menunggu perubahan. Ia ingin sekali kembali bergabung dengan istri dan putranya yang berusia 8 tahun di Sri Lanka, tapi dia masih perlu melunasi pinjamannya.
"Ini bukan waktu yang tepat untuk kembali,” kata Maduranga. "Saya ingin hidup di Sri Lanka sebagai orang yang bebas tanpa berhutang budi pada siapa pun.”
kpas/ (AP)