Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun

Konflik Palestina vs Israel Tak Bermula dari 7 Oktober 2023, Deklarasi Balfour Jadi Biangnya

Sejarah panjang konflik Palestina vs Israel, tak bermula dari Operasi Banjir Al-Aqsa 7 Oktober 2023, melainkan sejak Deklarasi Balfour.

Penulis: Pravitri Retno Widyastuti
Editor: Garudea Prabawati
zoom-in Konflik Palestina vs Israel Tak Bermula dari 7 Oktober 2023, Deklarasi Balfour Jadi Biangnya
Mahmud HAMS / AFP
Anggota Brigade al-Qassam, sayap militer Hamas, yang bertopeng, berbaris dalam unjuk rasa di Kota Gaza pada 20 Juli 2022 - Sejarah panjang konflik Palestina vs Israel, tak bermula dari Operasi Banjir Al-Aqsa 7 Oktober 2023, melainkan sejak Deklarasi Balfour. 

TRIBUNNEWS.com - Konflik antara Palestina vs Israel bukan bermula dari Operasi Banjir Al-Aqsa yang dilancarkan gerakan perlawanan Hamas pada 7 Oktober 2023.

Konflik dua negara itu berakar pada tindakan kolonial oleh yang dilakukan lebih dari satu abad lalu.

Dikutip dari Al Jazeera, penyebab utama terjadinya konflik Palestina vs Israel bermual saat Menteri Luar Negeri Inggris pada 1917, Arthur Balfour, menulis surat kepada seorang tokoh masyarakat Yahudi Inggris, Lionel Walter Rothschild.

Surat yang hanya berisi 67 kata itu, yang kemudian dikenal sebagai Deklarasi Balfour, memiliki dampak besar terhadap keberlangsungan negara Palestina, bahkan sampai saat ini.

Surat tersebut mengikat pemerintah Inggris untuk "mendirikan tanah air nasional bagi orang-orang Yahudi di Palestina" dan memfasilitasi "pencapaian tujuan ini".

Setelahnya, terjadi migrasi besar-besaran kaum Yahudi ke Palestina. Hal ini dipercepat oleh orang-orang Yahudi yang melarikan diri dari Nazisme di Eropa.

Selama kurun waktu 1918-1947, populasi Yahudi di Palestina meningkat dari enam persen menjadi 33 persen.

BERITA REKOMENDASI

Sebagai informasi, antara 1920-1946, jumlah kaum Yahudi yang tiba di Palestina, kebanyakan berasal dari Eropa, berjumlah 376.415 jiwa.

Pemberontakan Arab

Warga Palestina merasa khawatir dengan perubahan demografi hingga menyebabkan ketegangan meningkat.

Hal itu kemudian menyebabkan pemberontakan pada 1936-1939.

Pada April 1936, Komite Nasional Arab yang baru dibentuk, menyerukan kepada warga Palestina untuk mengadakan mogok massal, menahan pembayaran pajak, dan memboikot produk-produk Yahudi.

Baca juga: 3 Tujuan Israel di Gaza Selama Satu Tahun Serangan Belum Tercapai, Hamas Masih Kokoh Tak Terkalahkan

Aksi itu dilakukan untuk memprotes kolonialisme Inggris dan meningkatnya imigrasi Yahudi.

Mogok massal selama enam bulan itu ditindak secara brutal oleh Inggris. Inggris melancarkan kampanye penangkapan massal dan melakukan pembongkaran rumah sebagai hukuman.

Praktik pembongkaran rumah itu diketahui terus dilakukan oleh Israel terhadap warga Palestina hingga saat ini.

Tahap kedua pemberontakan dimulai pada akhir 1947, yang dipimpin gerakan perlawanan petani Palestina. Aksi ini menargetkan pasukan Inggris dan kolonialisme.

Paruh kedua tahun 1939, Inggris mengerahkan 30 ribu tentara di Palestina. Desa-desa dibom melalui udara, jam malam diberlakukan, rumah-rumah dihancurkan, dan penahanan administratif serta pembunuhan massal meluas.

Bersamaan dengan itu, Inggris berkolaborasi dengan komunitas pemukim Yahudi dan membentuk kelompok bersenjata dan "pasukan antipemberontakan" yang dipimpin Inggris.

Kelompok itu terdiri dari para pejuang Yahudi yang diberi nama Pasukan Malam Khusus.

Di saat yang bersamaan, komunitas pemukim bernama Yishuv, mengimpor senjata diam-diam dan mendirikan pabrik senjata untuk memperluas Haganah, paramiliter Yahudi yang kemudian menjadi inti tentara Israel.

Selama tiga tahun pemberontakan itu, 5.000 warga Palestina terbunuh, 15.000 hingga 20.000 orang terluka, dan 5.600 orang dipenjara.

Baca juga: Iran Sukses Serang Israel, Komandan IRGC Brigjen Hajizadeh Dianugerahi Gelar Ordo Penaklukan

PBB Serukan Pembagian Palestina

Infografis pembagian wilayah Palestina dengan Israel menurut Resolusi 181 PBB tahun 1947.
Infografis pembagian wilayah Palestina dengan Israel menurut Resolusi 181 PBB tahun 1947. (Al Jazeera)

Konflik yang terjadi di Palestina kemudian dirujuk ke PBB yang baru dibentuk.

Pada 1947, PBB mengadopsi Resolusi 181 yang menyerukan pembagian Palestina menjadi negara-negara Arab dan Yahudi.

Resolusi itu meminta 55 persen tanah Palestina diserahkan kepada kaum Yahudi, sedangkan 45 persen lainnya untuk orang-orang Arab.

Sementara, Yerusalem dinyatakan sebagai wilayah internasional yang terpisah.

Peristiwa Nakba

Di bulan April 1948, lebih dari 100 pria, wanita, dan anak-anak Palestina di Desa Deir Yassin di pinggiran Yerusalem, dibunuh.

Peristiwa ini menjadi dasar bagi operasi selanjutnya. Sejak 1947-1949, lebih dari 500 desa dan kora dihancurkan dalam peristiwa yang disebut warga Palestina sebagai Nakba atau "malapetaka".

Buntut peristiwa Nakba, 15 ribu warga Palestina terbunuh dan 750 ribu lainnya dipaksa meninggalkan rumah mereka,

Pada 15 Mei 1948, Israel mendeklarasikan pembentukannya.

Keesokan harinya, perang Arab-Israel pertama dimulai dan berakhir pada Januari 1949, setelah gencatan senjata antara Israel dan Mesir, Lebanon, Yordania, dan Suriah.

Bulan Desember 1948, Majelis Umum PBB mengeluarkan Resolusi 194, yang menyerukan hak kembali bagi pengungsi Palestina.

Tahun setelah Nakba

Sebanyak 150 ribu warga Palestina tetap berada di negara Israel yang baru dibentuk. Mereka hidup di bawah pendudukan militer dan dikontrol ketat selama 20 tahun, sebelum akhirnya diberi kewarganegaraan Israel.

Mesir mengambil alih Jalur Gaza. Pada 1950, Yordania memulai pemerintahan administratifnya atas Tepi Barat.

Pada 1964, Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) dibentuk, dan setahun kemudian, partai politik Fatah didirikan.

Naksa, Perang Enam Hari

Pada 5 Juni 1967, Israel menduduki sisa wilayah Palestina yang bersejarah, termasuk Jalur Gaza, Tepi Barat, Yerusalem Timur, dan Dataran Tinggi Golan Suriah, dan Semenanjung Sinai Mesir selama Perang Enam Hari melawan koalisi tentara Arab.

Bagi sebagian warga Palestina, hal ini menyebabkan pengungsian paksa kedua. Peristiwa ini dikenal sebagai Naksa yang berarti "kemunduran".

Intifada Pertama pada 1987-1993

Intifada Palestina pertama meletus di Jalur Gaza pada Desember 1987, setelah empat warga Palestina tewas saat truk Israel bertabrakan dengan dua van yang membawa pekerja Palestina.

Protes menyebar cepat ke Tepi Barat, di mana pemuda Palestina melemparkan batu ke tank dan tentara Israel.

Peristiwa ini juga menyebabkan berdirinya gerakan perlawanan Hamas,

Respons keras tentara Israel dirangkum dalam kebijakan "Patah Tulang Mereka" yang dikeluarkan oleh Menteri Pertahanan saat itu, Yitzhak Rabin.

Aksi ini mencakup pembunuhan, penutupan universitas, deportasi aktivis, dan penghancuran rumah.

Intifada terutama dilakukan oleh kaum muda dan diarahkan oleh Kepemimpinan Nasional Terpadu Pemberontakan, sebuah koalisi faksi politik Palestina yang berkomitmen mengakhiri pendudukan Israel dan membangun kemerdekaan Palestina.

Pada 1988, Liga Arab mengakui Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) sebagai satu-satunya perwakilan rakyat Palestina.

Intifada ditandai mobilisasi rakyat, protes massal, pembangkangan sipil, pemogokan yang terorganisasi dengan baik, dan kerja sama komunal.

Menurut organisasi hak asasi manusia (HAM) Israelm, B'Tselem, 1.070 warga Palestina dibunuh oleh pasukan Zionis selama Intifada, termasuk 237 anak-anak. Sementara, lebih dari 175.000 warga Palestina ditangkap.

Palestina-Israel Tandatangani Perjanjian Oslo

Infografis pembagian wilayah Tepi Barat yang diduduki antara Palestina dan Israel menurut Perjanjian Oslo tahun 1993.
Infografis pembagian wilayah Tepi Barat yang diduduki antara Palestina dan Israel menurut Perjanjian Oslo tahun 1993. (Al Jazeera)

Pada 1993, Pemimpin Palestina, Yasser Arafat, dan Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin, menandatangani Perjanjian Oslo.

Perjanjian itu dibuat untuk mencapai perdamaian dalam waktu lima tahun. Momen itu menjadi pertama kalinya bagi Palestina dan Israel saling mengakui satu sama lain.

Perjanjian kedua yang dibuat pada 1995, membagi wilayah Tepi Barat yang diduduki menjadi tiga bagian, yaitu Area A, B, dan C.

Otoritas Palestina yang dibentuk setelah Perjanjian Oslo, hanya diberi kekuasaan terbatas atas 18 persen Tepi Barat karena Israel secara efektif terus mengendalikan wilayah tersebut.

Tapi, Perjanjian Oslo perlahan-lahan runtuh karena pemukiman Israel, komunitas Yahudi yang dibangun di Tepi Barat - kebanyakan ilegal -, tumbuh secara massif.

Populasi permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur meningkat dari sekitar 250 jiwa pada 1993 dan 700 jiwa pada September 2023.

Sekitar tiga juta warga Palestina tinggal di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.

Intifada Kedua

Intifada kedua dimulai pada 28 September 2000, saat pemimpin oposisi Israel Likud, Ariel Sharon, melakukan kunjungan provokatif ke kompleks Masjid Al-Aqsa dengan ribuan pasukan keamanan dikerahkan di dalam dan sekitar Kota Tua Yerusalem.

Sebagai informasi, Sharon kemudian menjadi Perdana Menteri Israel periode 2001-2006.

Bentrokan antara pengunjuk rasa Palestina dan pasukan Israel yang berlangsung selama dua hari itu menewaskan lima warga Palestina dan melukai 200 orang.

Insiden ini memicu pemberontakan bersenjata yang meluas.

Selama Intifada kedua, Israel menyebabkan kerusakan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap perekonomian dan infrastruktur Palestina.

Israel kembali menduduki wilayah yang diperintah oleh Otoritas Palestina. Mereka memulai pembangunan tembok pemisah, yang seiring maraknya pembangunan pemukiman, menghancurkan mata pencaharian dan komunitas warga Palestina.

Pemukiman itu dianggap ilegal menurut hukum internasional.

PBB telah mengecam pemukiman itu dan menyebutnya sebagai "rintangan besar" dalam mewujudkan negara Palestina yang layak, sebagai bagian dari apa yang disebut "solusi dua negara".

Mobilitas warga Palestina menjadi sangat terbatas karena pemukiman ilegal Israel.

Sebab, sekitar 700 penghalang jalan, termasuk 140 pos pemeriksaan, tersebar di Tepi Barat.

Sekitar 70 ribu warga Palestina dengan izin kerja Israel, harus melintasi pos pemeriksaan itu dalam perjalanan harian mereka.

Perang di Jalur Gaza

Seorang wanita berduka saat memegang jenazah anaknya yang terbunuh dalam serangan Israel terhadap sekolah yang menampung warga Palestina terlantar di lingkungan Zaytoun, Kota Gaza pada tanggal 21 September 2024, di tengah perang yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok militan Palestina Hamas. (Photo by Omar AL-QATTAA / AFP)
Seorang wanita berduka saat memegang jenazah anaknya yang terbunuh dalam serangan Israel terhadap sekolah yang menampung warga Palestina terlantar di lingkungan Zaytoun, Kota Gaza pada tanggal 21 September 2024, di tengah perang yang sedang berlangsung antara Israel dan kelompok militan Palestina Hamas. (Photo by Omar AL-QATTAA / AFP) (AFP/OMAR AL-QATTAA)

Israel telah melancarkan empat serangan militer berkepanjangan di Gaza pada 2008, 2012, 2014, dan 2021.

Serangan tahun 2008 melibatkan penggunaan persenjataan yang dilarang secara internasional, seperti gas fosfor.

Pada 2014, dalam kurun waktu 50 hari, Israel membunuh lebih dari 2.100 warga Palestina, termasuk 500 anak-anak.

Selama  serangan itu, yang disebut Operasi Protective Edge oleh Israel, sekitar 11.000 warga Palestina terluka, 20.000 rumah hancur, dan setengah juta orang mengungsi.

Serangan terbaru Israel berlangsung sejak 7 Oktober 2023 hingga saat ini.

Hingga saat ini, lebih dari 41.900 warga Palestina tewas akibat serangan brutal Israel.

Sementara, lebih dari 97.300 lainnya terluka dan 10.000 lainnya masih hilang, diduga tewas di bawah reruntuhan.

(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)

Sumber: TribunSolo.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas