FBI Ungkap Rusia Berupaya Rusak Kepercayaan Publik terhadap Integritas Pemilu AS
FBI mengungkapkan bahwa Rusia berupaya merusak kepercayaan publik Amerika Serikat (AS0 terhadap integritas Pemilihan Presiden AS.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Tiara Shelavie
TRIBUNNEWS.COM - Biro Investigasi Federal atau FBI mengungkapkan bahwa Rusia berupaya merusak kepercayaan publik Amerika Serikat (AS0 terhadap integritas Pemilihan Presiden AS.
Badan intelijen AS itu menyebut Moskow sebagai ancaman paling aktif dalam menyebarkan sejumlah isu dengan mengaitkan sejumlah konten video berisi hoaks tentang Pemilu AS 2024 dengan Rusia.
FBI, Kantor Direktur Intelijen Nasional (ODNI), dan Badan Keamanan Siber dan Infrastruktur (CISA) memperingatkan kalau mereka telah mengamati "musuh asing, khususnya Rusia, melakukan operasi pengaruh tambahan yang dimaksudkan untuk merusak kepercayaan publik terhadap integritas pemilu AS dan memicu perpecahan di antara warga Amerika".
Badan-badan tersebut mengatakan mereka memperkirakan "kegiatan-kegiatan ini akan semakin intensif menjelang hari pemilihan dan dalam beberapa minggu mendatang, dan narasi pengaruh asing akan berfokus pada negara-negara bagian yang masih belum jelas arah politiknya".
"Rusia adalah ancaman paling aktif (menyebarkan video dan cerita palsu tentang penipuan dan berusaha meningkatkan kemungkinan terjadinya kekerasan politik)," kata mereka dalam sebuah pernyataan.
Selain Rusia, lembaga-lembaga tersebut menyebut Iran juga ancaman pengaruh asing yang signifikan, seraya menunjuk pada "aktivitas siber jahat" dan upaya balas dendam atas pembunuhan Jenderal Qassem Soleimani pada Januari 2020.
Pemilihan Presiden Amerika Serikat
Menurut penghitungan oleh Laboratorium Pemilu Universitas Florida, lebih dari 82 juta warga Amerika telah memberikan suaranya.
Pemilu AS hanya melibatkan dua partai besar, yakni Partai Republik dan Partai Demokrat, meski tidak tertutup kemungkinan adanya kandidat jalur independen.
Partai Republik mengusung mantan Presiden AS Donald Trump dan JD Vance, sedangkan dari Partai Demokrat diwakili oleh Wakil Presiden AS Kamala Harris dan Tim Walz.
Baca juga: Warga AS Ungkap Stres Hadapi Pemilihan Presiden Amerika Serikat, Khawatir Ada Kerusuhan
Sebuah majalah yang berafiliasi dengan Xinhua menggambarkan pemilu Amerika Serikat ini sebagai "tanpa harapan".
Kata laporan tersebut, pada akhirnya hasil Pemilu AS 2024 ini diputuskan oleh "kekuatan tak terlihat" seperti Wall Street.
Beberapa blogger nasionalis telah menerbitkan video dan unggahan yang terkadang dengan gembira memainkan apa yang mereka gambarkan sebagai potensi "perang saudara" Amerika pascapemilu, retorika yang digaungkan dalam obrolan di platform media sosial Weibo, yang sangat disensor dan sebagian besar didominasi oleh suara-suara nasionalis.
Dikutip dari Al Jazeera, lebih dari 82 juta warga Amerika telah memberikan suaranya, demikian menurut penghitungan oleh Laboratorium Pemilu Universitas Florida.
Baik kubu Harris maupun Trump mendesak para pendukung yang mungkin belum memberikan suara untuk memastikan mereka memberikan suara pada Hari Pemilihan.
Pemilu AS berlangsung saat perang di Gaza berkecamuk
Kedua kandidat capres AS telah menjanjikan dukungan tegas terhadap Israel, sementara juga mengatakan mereka akan mengakhiri perang di Gaza.
Trump adalah salah satu presiden paling pro-Israel dalam sejarah AS, yang memindahkan Kedutaan Besar AS dari Tel Aviv ke Yerusalem, sebuah tindakan yang dikecam secara luas.
Namun, Trump telah menjadikan janjinya untuk mengakhiri perang sebagai titik fokus upayanya untuk menjangkau warga Arab dan Muslim Amerika.
Sementara itu, Harris lebih fokus pada dampak kemanusiaan di Gaza daripada atasannya, Presiden Biden.
Dia mengatakan akan berusaha mengakhiri perang, dia mengesampingkan persyaratan bantuan untuk Israel.
Hingga saat ini, 43.374 warga Palestina telah terbunuh di Gaza dan 3.002 orang telah terbunuh di Lebanon sejak perang dimulai.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)