Batal Penuhi Janji, Prancis Sebut Netanyahu Kebal terhadap Surat Perintah Penangkapan ICC
Prancis menjelaskan bahwa Netanyahu dilindungi oleh aturan kekebalan yang berlaku bagi negara yang bukan anggota ICC.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Sri Juliati
TRIBUNNEWS.COM - Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) Prancis mengonfirmasi bahwa Perdana Menteri (PM) Israel, Benjamin Netanyahu, memiliki kekebalan dari penuntutan di Mahkamah Kriminal Internasional (ICC).
Hal ini disampaikan pada Rabu (27/11/2024), sebagai tanggapan terbaru Prancis atas surat perintah penangkapan yang dikeluarkan oleh ICC.
Prancis menjelaskan bahwa Netanyahu dilindungi oleh aturan kekebalan yang berlaku bagi negara yang bukan anggota ICC.
"Suatu negara tidak dapat dianggap bertindak dengan cara yang tidak sesuai dengan kewajibannya berdasarkan hukum internasional berkenaan dengan kekebalan yang diberikan kepada negara yang bukan merupakan pihak dalam ICC," ujar pernyataan resmi Kementerian Luar Negeri Prancis.
Dikutip dari France24 dan The Guardian, kekebalan ini juga berlaku untuk menteri-menteri terkait lainnya dan harus diperhitungkan jika ICC meminta Prancis untuk menangkap dan menyerahkan mereka.
Bulan ini, ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan untuk Netanyahu, mantan Menteri Pertahanan Yoav Gallant, dan kepala militer Hamas, Mohammed Deif.
Netanyahu mengecam tindakan tersebut.
ICC mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Netanyahu dan Gallant karena mereka dianggap bertanggung jawab atas kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Pengadilan menemukan alasan yang wajar untuk meyakini bahwa keduanya secara sengaja mengarahkan serangan terhadap penduduk sipil.
Juru bicara Kementerian Luar Negeri Prancis, Christophe Lemoine sebelumnya memberikan tanggapan terhadap keputusan ICC.
Baca juga: G7 Janji Patuhi Surat Penangkapan Netanyahu yang Dirilis ICC, Nasib PM Israel di Ujung Tanduk
Dia mengaku Prancis "telah memperhatikan keputusan ini sebagai pemenuhan komitmen jangka panjangnya untuk mendukung keadilan internasional."
Meskipun Prancis menegaskan kepatuhannya terhadap kerja independen ICC, Lemoine mengakui bahwa situasi ini rumit dari sudut pandang hukum.
Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, sebelumnya menyatakan bahwa beberapa pemimpin dapat menikmati kekebalan dari tuntutan ICC.
Saat ditanya apakah Prancis akan menangkap Netanyahu jika ia menginjak wilayah Prancis, Barrot tidak memberikan jawaban pasti.
Ia menekankan bahwa Prancis berkomitmen pada keadilan internasional dan akan bekerja sama dengan ICC.
Namun, ia menyatakan bahwa undang-undang pengadilan tersebut menangani masalah kekebalan bagi pemimpin tertentu.
"Keputusan ada di tangan otoritas kehakiman," tambahnya.
Akan tetapi, sikap Prancis berbalik 360 derajat.
Kini keputusan Prancis menuai reaksi keras, baik di dalam negeri mau pun luar negeri.
Amnesty International mengkritik keputusan Prancis untuk 'meloloskan' Netanyahu dari penangkapan.
Kelompok HAM tersebut menyebutnya dan bertentangan dengan kewajiban Prancis sebagai anggota ICC.
"Sangat bermasalah" kata Anne Savinel Barras, presiden Amnesty International Prancis.
Ketua Partai Hijau Prancis, Marine Tondelier, juga mengkritik sikap pemerintah, menyebutnya memalukan dan diduga sebagai hasil kesepakatan antara pemimpin Prancis dan Israel.
Pemerintah Inggris menyatakan bahwa Netanyahu dan Yoav Gallant dapat ditangkap jika mereka melakukan perjalanan ke Inggris.
Gencatan Senjata di Timur Tengah
Prancis sebelumnya berperan penting dalam upaya mengakhiri pertempuran di Timur Tengah, termasuk menengahi gencatan senjata antara Israel dan Lebanon.
Barrot menganggap gencatan senjata tersebut sebagai keberhasilan besar bagi Prancis dan berharap dapat menghasilkan reformasi di Lebanon.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Inggris, David Lammy, menyatakan akan terus berkomunikasi dengan Netanyahu meskipun ada surat perintah penangkapan.
Tapi dia menegaskan bahwa ia memiliki kewajiban untuk merujuk pemimpin Israel tersebut ke sistem peradilan domestik jika ia datang ke Inggris.
Dengan situasi ini, Prancis tampaknya tetap berpegang pada posisinya, meskipun dihadapkan pada kritik internasional mengenai penerapan hukum internasional dan keadilan.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)