Harapan dan Kesedihan Pengungsi di Lebanon, Lega tapi Khawatir Keadaan Pasca Gencatan Senjata
Ketika gencatan senjata antara Israel dan Hizbullah mulai berlaku, kehidupan ratusan keluarga pengungsi di Lebanon memasuki babak baru.
Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Tiara Shelavie
Meskipun begitu, Kenj menyadari bahwa tanpa tempat lain untuk dituju, dia harus kembali suatu hari nanti.
“Sekalipun aku berhasil menata kamarku dan membenahi rumahku, tidak ada kehidupan di sana,” lanjutnya, menyiratkan betapa sulitnya membayangkan kembali ke tempat yang dulunya menjadi rumah yang nyaman.
Setelah pesawat tempur Israel pergi, banyak keluarga di Karantina mulai mengemasi barang-barang mereka.
Fatima Haidar, seorang ibu berusia 38 tahun, mengingat kembali pengalaman pahit saat pertama kali mengungsi.
“Kami senang perang akhirnya berakhir, tetapi kami sangat sedih karena rumah kami telah hancur,” kata Haidar.
Dia merindukan rumahnya yang hancur, tetapi bertekad untuk membangun kembali kehidupan mereka.
“Meski momen ini pahit sekaligus manis, saya tidak akan tinggal di sini lebih lama lagi,” tegasnya, mengekspresikan tekadnya untuk kembali ke komunitasnya.
Namun, tidak semua cerita adalah tentang harapan dan keberanian.
Kenj masih bergelut dengan kesedihan setelah kehilangan sepupunya, Mohammed, dalam serangan udara Israel.
“Saya ingin mengenalnya lebih jauh, tetapi dia lebih tua dari saya dan memiliki istri dan anak-anak,” ucap Kenj, mewakili duka yang dirasakan oleh banyak orang di tempat penampungan.
"Kami berduka dan tertekan. Siapa pun yang mengatakan kami menang itu bohong," kata Kenj, mencerminkan ketidakpastian dan keraguan yang melanda banyak keluarga.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)