FSA, Oposisi Suriah akan 'Berteman' dengan Israel jika Rezim Presiden Bashar Al-Assad Runtuh
Tentara Pembebasan Suriah, salah satu oposisi Suriah, sebut akan berteman dengan Israel jika rezim Presiden Bashar Al-Assad berhasil digulingkan.
Penulis: Yunita Rahmayanti
Editor: Facundo Chrysnha Pradipha
TRIBUNNEWS.COM - Seorang komandan militer di kelompok Tentara Pembebasan Suriah (FSA) mengatakan akan mengupayakan perdamaian penuh dengan Israel jika mereka berhasil menggulingkan Presiden Suriah Bashar Al-Assad.
Komandan tersebut terlibat dalam pertempuran bersama sekutu militan lainnya melawan militer Suriah untuk merebut kota Aleppo baru-baru ini.
Ia mengatakan FSA sebelumnya menjadi perhatian internasional ketika perang saudara Suriah pecah pada tahun 2011.
Dalam wawancara dengan surat kabar, The Times of Israel, komandan yang identitasnya dirahasiakan itu membeberkan pandangannya untuk masa depan Suriah.
Komandan itu mengatakan setidaknya FSA dan Israel memiliki musuh yang sama di Suriah.
Ia berterima kasih kepada Israel karena menyerang fasilitas Hizbullah dan infrastruktur Iran di Suriah, yang merupakan musuh FSA.
"Kami akan menempuh perdamaian penuh dengan Israel, kami akan hidup berdampingan sebagai tetangga," katanya, Jumat (6/12/2024).
"Sejak pecahnya perang saudara Suriah, kami tidak pernah melontarkan komentar kritis terhadap Israel, tidak seperti Hizbullah, yang menyatakan bahwa mereka bermaksud membebaskan Yerusalem dan Dataran Tinggi Golan," lanjutnya.
"Satu-satunya fokus kami adalah menyingkirkan Assad dan milisi Iran," tambahnya.
Meski berharap demikian, komandan itu mengatakan tidak memiliki hubungan dengan pejabat Israel.
Ia menjelaskan, FSA membutuhkan dukungan politik dari Israel untuk memenangkan kepercayaan dari rakyat Suriah.
Baca juga: Putin Muak Tentara Suriah Kabur, Rusia Ogah Evakuasi Presiden Bashar al-Assad jika Dikudeta Oposisi
"Kami memiliki cukup banyak pejuang di lapangan. Yang kami butuhkan dari Israel adalah sikap politik yang jelas terhadap rezim (presiden) Assad," katanya.
"Kami membutuhkan sinyal politik untuk membangun kepercayaan dengan rakyat Suriah," lanjutnya.
Selain itu, ia berharap Israel dapat membantu FSA untuk menargetkan pasukan yang didukung Iran menggunakan serangan udara.
Ia memperingatkan Israel bahwa militan Irak yang didukung oleh Iran telah dikirim ke Suriah untuk mendukung rezim Assad, maka Israel harus bertindak.
"Israel harus mempertimbangkan untuk menyerang pasukan yang didukung oleh Iran di mana pun mereka berada. Kami mencoba untuk memblokir mereka di jalan dan menyergap mereka, tetapi Israel juga harus bertindak dari udara," kata komandan itu.
Perang Saudara di Suriah
Perang saudara di Suriah dimulai pada tahun 2011 ketika rakyat Suriah berdemonstrasi menuntut diakhirinya kekuasaan keluarga Bashar al-Assad dari Partai Ba'ath selama puluhan tahun.
Ayah Bashar, Hafez al-Assad yang berkuasa selama 29 tahun, mempersiapkannya untuk menjadi Presiden Suriah selanjutnya.
Bashar al-Assad diyakini sebagai pengganti kakaknya, Bassel al-Assad yang seharusnya menjadi calon penerus ayahnya, meninggal dunia pada tahun 1994 karena kecelakaan.
Rezim Hafez kemudian merevisi aturan usia calon presiden sehingga Bashar al-Assad dapat mencalonkan diri pada pemilu tahun 2000, menyusul kematian Hafez al-Assad.
Setelah 11 tahun berkuasa, protes pecah pada tahun 2011 untuk menuntut pengunduran diri Bashar Al-Assad.
Kekerasan meningkat ketika pasukan keamanan Suriah menembaki para demonstran, menewaskan sejumlah orang.
Kelompok pemberontak, HTS dan faksi lainnya yang didukung Turki, muncul mengambil peran untuk meruntuhkan kekuasaan Bashar Al-Assad.
Iran melakukan intervensi militer di Suriah pada tahun 2012, setelah memberikan bantuan politik dan logistik pada tahun sebelumnya.
Pada tahun 2015, Rusia secara militer membantu Assad merebut kembali sebagian besar negara dari HTS, Negara Islam (IS, sebelumnya ISIS), dan puluhan kelompok bersenjata yang didukung Amerika Serikat (AS).
Pada tahun 2016, Presiden Bashar al-Assad berhasil mempertahankan kekuasaan di Aleppo, yang merupakan kota terbesar kedua di negara itu setelah Damaskus.
Aksi saling serang antara militer Suriah dan kelompok pemberontak masih terjadi, hingga pada tahun 2020, Rusia dan Turki menengahi perjanjian gencatan senjata kedua pihak di Suriah.
Namun, pertempuran meletus lagi baru-baru ini, ketika HTS dan milisi sekutunya menyerang kota Aleppo yang dikuasai pemerintah di Suriah utara pada hari Rabu (27/11/2024) dan merebut Kota Aleppo, Idlib, Hama, hingga Homs yang direbut baru-baru ini.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.