Rusia Terancam Kehilangan Pangkalan Militer di Suriah Pasca-Assad, Ini 3 Skenario yang Bisa Terjadi
3 skenario mengenai masa depan militer Rusia di Suriah setelah jatuhnya pemerintahan rezim al-Assad.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: Wahyu Gilang Putranto
TRIBUNNEWS.COM - Suriah telah menjadi pijakan rencana Rusia untuk memperluas kekuatannya di Timur Tengah, terbukti dengan perjanjian sewa pangkalan militer selama 49 tahun yang ditandatangani pada 2017, menurut The Washington Post.
Namun, setelah tumbangnya pemerintahan sekutu mereka, mantan Presiden Suriah Bashar al-Assad, kehadiran pejabat Rusia di Suriah mungkin segera berakhir.
"Rusia tentu saja melakukan segala upaya untuk mempertahankan kehadirannya di Suriah sambil mempersiapkan kemungkinan bahwa ini mungkin adalah momen terakhir," kata Ben Dubow, peneliti senior nonresiden di Pusat Analisis Kebijakan Eropa, kepada Business Insider.
Lantas apa yang akan terjadi selanjutnya?
Berikut adalah tiga skenario yang mungkin dihadapi militer Rusia di Suriah, mengutip Business Insider.
1. Mengurangi Jejak
Tak lama setelah Assad melarikan diri dari Suriah, Rusia dilaporkan membuat kesepakatan dengan otoritas sementara Suriah, yang dipimpin oleh gerakan Hay'at Tahrir al-Sham (HTS).
HTS menjamin keamanan pangkalan-pangkalan Rusia dan tidak memiliki rencana untuk menyerang fasilitas tersebut.
Namun, belum jelas apakah pemimpin masa depan di Damaskus akan menoleransi kehadiran militer Rusia untuk jangka panjang.
Saat ini, beberapa kapal perang Rusia berlabuh di luar pangkalan Tartus sebagai tindakan pencegahan, dan ada pergerakan militer lainnya di Suriah.
"Banyak sekali peralatan militer yang ditarik dengan tergesa-gesa ke wilayah pesisir atau diangkut dari wilayah terpencil," kata Anton Mardasov, peneliti nonresiden di program Suriah di Middle East Institute, kepada BI.
"Kapal-kapal yang akan tiba di Suriah dari Armada Baltik, serta pesawat angkut militer yang tiba di Hmeimim, kemungkinan akan membawa peralatan berlebih ini keluar."
Baca juga: Kapal Perang Rusia OTW Suriah, Raja Hamad Kirim Pesan, Iran dan UEA Desak Israel Berhenti
Selain pangkalan angkatan laut di Tartus, Rusia juga memiliki pangkalan udara besar di Latakia, yang disebut Hmeimim.
Pangkalan Hmeimim telah digunakan sebagai landasan peluncuran serangan udara di seluruh Suriah sejak Rusia mulai mengintervensi perang saudara di negara itu pada 2015.
"Saat ini, mungkin belum ada masalah terkait evakuasi penuh pangkalan," ujar Mardasov.
"Namun, pemerintah baru, yang mungkin ditunjuk setelah Maret 2025, perlu mengeluarkan dekrit yang mengecam atau melegitimasi perjanjian masa lalu Damaskus dengan Moskow."
2. Membuat Perjanjian Baru
Rusia menandatangani perjanjian sewa selama 49 tahun dengan rezim Assad pada 2017 untuk pangkalan-pangkalan ini, dengan opsi bisa diperpanjang.
Perjanjian tersebut dirancang untuk memastikan kehadiran militer Rusia di Timur Tengah dalam jangka panjang.
Bahkan, kesepakatan itu memberikan kekebalan hukum bagi personel militer Rusia di Suriah, artinya mereka tidak akan dimintai pertanggungjawaban atas tindakan mereka terhadap warga sipil Suriah.
"Saya tidak yakin apakah perjanjian 2017 mengikat, tetapi saat ini, hanya Rusia yang dapat menegakkannya, dan tidak ada tanda-tanda bahwa mereka memiliki kemauan atau kapasitas untuk melakukannya," kata Dubow.
"Jika Damaskus memerintahkan Rusia untuk pergi, Moskow akan kesulitan mempertahankan posisinya."
Harapan terbaik Rusia mungkin adalah mencoba mempertahankan akses hingga kesepakatan baru dapat dicapai dengan para pemimpin baru Suriah.
Namun, tawaran tersebut harus sangat menguntungkan bagi oposisi Suriah, yang sebelumnya menjadi target sasaran udara Rusia dan brutalnya tentara bayaran.
Rusia kemungkinan akan menawarkan uang dan insentif ekonomi lainnya, seperti diskon produk bahan bakar, sebagai imbalan atas toleransi pemimpin baru Suriah terhadap kehadiran militer Rusia.
Namun, perjanjian ini mungkin hanya bersifat jangka pendek.
"Dalam jangka panjang, kecil kemungkinan Rusia bisa mempertahankan penggunaan fasilitas ini, mengingat antipati yang besar terhadap Rusia di kalangan otoritas baru Suriah setelah bertahun-tahun mendukung rezim Assad," kata Matthew Orr, analis Eurasia di perusahaan intelijen risiko RANE.
Baca juga: Pembangkit Listrik Ukraina Jadi Bulan-bulanan Rudal Rusia, Kiev Gelap Gulita
Otoritas sementara Suriah mungkin bisa mendapatkan keuntungan jangka pendek dari keberadaan Rusia, tambah Orr.
Rusia dapat menjadi alat tawar-menawar dalam negosiasi dengan kekuatan lain, seperti Amerika Serikat.
3. Penarikan Penuh
Pilihan Rusia sangat terbatas jika tidak dapat mencapai kesepakatan.
Mereka bisa mencoba mempertahankan pangkalan-pangkalan mereka, tetapi ini berisiko bentrok dengan pasukan yang dipimpin HTS.
Risiko ini termasuk kemungkinan tentara Rusia terluka, ditangkap, atau bahkan diadili, yang akan mempermalukan Rusia.
Alternatif lainnya, Rusia dapat mengangkut pasukan dan materialnya keluar melalui udara.
Orr tidak mengantisipasi penarikan pasukan Rusia yang tergesa-gesa dari Suriah.
Sebaliknya, Rusia mungkin sedang mempersiapkan penarikan secara tertib setelah upaya untuk menegosiasikan kehadirannya gagal, tambah Orr kepada BI.
"Kehilangan pangkalan militer akan merugikan proyeksi kekuatan Rusia karena pangkalan-pangkalan tersebut adalah titik logistik penting untuk operasi militer di Afrika, Timur Tengah, dan operasi angkatan laut global Rusia."
Rusia juga tidak memiliki pangkalan alternatif yang menjanjikan.
Tartus masih menjadi satu-satunya fasilitas angkatan laut Rusia di Mediterania, yang membuatnya sangat penting bagi penempatan Angkatan Laut Rusia di selatan Laut Hitam dan Selat Turki.
Selain Hmeimim, Tartus juga berfungsi sebagai pusat untuk mendukung operasi militer dan penempatan tentara bayaran Rusia di Afrika.
Rusia telah memiliki akses ke Tartus sejak era Soviet pada 1970-an.
Mereka juga berinvestasi dalam perluasan pangkalan ini pada 2010-an, sehingga kehilangan fasilitas ini akan sangat merugikan.
Baca juga: Tank-tank Israel Makin Maju ke Wilayah Selatan Suriah, Tel Aviv Puji Momen Bersejarah
Alternatif pangkalan militer Rusia di luar Suriah mungkin adalah Tobruk di Libya timur, yang dikuasai panglima perang Khalifa Haftar.
Namun, Dubow dari CEPA skeptis bahwa pelabuhan Libya bisa menjadi pengganti.
"Tobruk tidak akan mampu menyamai Tartus dan Latakia," kata Dubow.
"Kota itu lebih kecil dan lebih jauh dari Rusia. Bahkan pengurangan signifikan kehadiran Rusia di Suriah akan sangat merusak kapasitas proyeksi kekuatan Rusia."
Rusia Merugi, Turki Untung?
Di sisi lain, apakah kerugian Rusia ini akan menjadi keuntungan bagi Turki?
Turki dekat dengan koalisi HTS, tetapi mungkin juga tidak memiliki pengaruh untuk menguasai pangkalan permanen di Suriah.
"Angkatan Laut Turki tidak membutuhkan pangkalan Tartus," tambah Orr.
"Dan keberhasilannya akan tergantung pada kondisi keamanan yang saat ini masih belum jelas."
Namun, Tartus masih menjadi aset strategis yang akan diperebutkan oleh pemerintah baru yang bersatu di Suriah untuk menjalin hubungan dengan kekuatan besar atau sebagai bagian dari upaya keseimbangan geopolitik di Timur Tengah.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)