Assad Tumbang, Dunia Kebudayaan Suriah Harapkan Awal Baru
Panggung budaya di Suriah hancur di masa kekuasaan Bashar al-Assad. Setelah sang diktator tumbang, rasa sakit dan harapan bercampur…
Selama gelombang pengungsi pada tahun 2016, ia mendirikan asosiasi budaya Jerman-Suriah "17-3-17" dengan orang-orang dan seniman yang berpikiran sama di Köln, yang hingga saat ini menyelenggarakan pameran seni, konser, pembacaan sastra, teater, film dan pertunjukan tari. Puncak acara pada tahun 2022 adalah pertunjukan "Against Forgetting" di Museum Rautenstrauch-Joest di Köln - dengan gambaran kehidupan sehari-hari yang dinamis, seni tradisional, dan hidup berdampingan berbagai budaya dan agama.
"Kami ingin menunjukkan Suriah yang berbeda dan memberikan kenangan positif kepada warga Suriah tentang tanah air mereka,” papar kurator Jabbar Abdullah kepada Deutsche Welle saat itu. Baginya, jatuhnya Assad juga menandai pembebasan kebudayaan. "Keberagaman budaya adalah korban Assad,” katanya.
Slogan "Melawan Lupa” sangat relevan
Meskipun masih belum jelas ke mana arah Suriah di bawah pengaruh kelompok Islam Hajat Tahrir al-Sham (HTS)proses untuk berdamai dengan masa lalu telah dimulai. Akankah suatu hari dia bisa memaafkan para penjagal, informan dan informan rezim?
"Ini bukan tentang perasaan balas dendam pribadi,” papar Kholoud Charaf. Ia manambahkan: "Kita tidak boleh memperlakukan orang yang bersalah sebagaimana mereka memperlakukan kita. Mereka layak diadili dan harus menerima putusan yang adil.”
Hal lain akan menghalangi jalan menuju kebebasan dan demokrasi, imbuh Charaf: "Kita harus menjadi bagian dari perubahan sekarang!”
Ramy Al-Asheq melihat akhir dari "pembersihan budaya” akan segera tiba. Seniman, penulis, dan aktivis budaya diusir dari rumah mereka atau dibungkam secara brutal. Selain itu, rezim ini juga melakukan pertukaran budaya secara sistematis - pertukaran budaya yang indah melawan yang jelek, kebebasan melawan perbudakan, kegembiraan untuk masa depan melawan keterbelakangan yang menyedihkan. Ini adalah metode rezim totaliter untuk mengubah budaya menjadi ketundukan, ujar Al-Asheq: "Kemarahan berubah menjadi gerutuan dan pada akhirnya menjadi penerimaan dan ketundukan."
Kurator Jabbar Abdullah ingin segera pulang. Dia ingin membangun pusat dokumentasi di sana berdasarkan model Rumah EL-DE di Köln, yang pernah berfungsi sebagai kantor dan penjara Gestapo bagi Nazi dan kini berhasil memproses sejarah Nazi.
"Masyarakat memerlukan waktu untuk mengatasi rasa takut,” kata Ramy Al-Asheq, yang kembali ke Damaskus untuk pertama kalinya setelah sekian lama: "Hambatan terbesar adalah antara kita dan fantasi, antara kita dan perdamaian, antara kita dan kebebasan, itu kini telah hilang." Orang-orang dari dunia budaya khususnya harus pergi ke Suriah sekarang. "Ya, kita semua punya kekhawatiran tentang siapa atau apa yang akan terjadi pada Assad. Tapi kita harus menjadi bagian dari perubahan sekarang!”