Makin Marak Penyelundupan Manusia dari Vietnam ke Eropa
Perdagangan manusia dari Vietnam ke Eropa terus meningkat. Pihak berwenang berusaha membongkar jaringannya, tetapi para korban lebih…
Cornelius menyebutkan betapa "liciknya" para korban, yang memiliki tujuan sama dan beriringan dengan tujuan para pelaku.
Penelitian dalam psikologi kriminal mengungkapkan, bukan pelaku penyelundupan, tetapi justru para korban yang lebih takut jika tertangkap, karena khawatir akan kehilangan seluruh uang dan usaha mereka.
"Orang-orang itu mungkin berasumsi akan ada beberapa tahun yang sangat berat dan penuh dengan pengorbanan di awal," kata Baumann, menambahkan bahwa para korban tetap berada di bawah radar sambil bekerja keras dengan harapan dapat melunasi utang dan mendapatkan "dokumen" yang diperlukan dengan cepat. Ini juga membantu para pelaku, yang memiliki kepentingan untuk tetap tidak terungkap kejahatannya, jelasnya.
Bahkan, banyak korban melihat ini sebagai sebuah kesempatan, di mana mereka rela meminjam uang dalam jumlah besar dan mengambil risiko besar untuk memulai perjalanan menuju Jerman.
Diperkirakan, para penyelundup manusia memungut biaya antara €10.000 (sekitar Rp169 juta) hingga €23.000 (sekitar Rp388 juta) per migran, jumlah yang sangat besar mengingat pendapatan per kapita bulanan Vietnam hanya sekitar €190 (sekitar Rp3,2 juta), menurut data pemerintah.
Jumlah dana yang besar dan risiko yang cukup tinggi ini tampaknya tidak menghalangi tekad para warga Vietnam itu, karena mereka tetap bersedia membayar demi mengejar impian untuk memiliki kehidupan yang lebih baik.
Peran faktor sosial di masyarakat
Tekanan dari teman sebaya juga ikut berperan.
Vietnam saat ini memiliki banyak kota dengan gedung-gedung bertingkat dan vila-vila dari orang kaya baru yang meniru gaya arsitektur Eropa dengan pilar dan "tympanum” atau lengkungan khas di atas pintu.
Ada sejumlah tempat yang dijuluki "desa miliarder VND", di mana banyak penduduk yang kaya raya berkat ekspor tenaga kerja dan remitansi atau uang kiriman dari para pekerja migran. Bahkan, beberapa dinamai "Seoul" atau "Eropa", karena sejumlah besar orang di daerah ini bekerja di luar negeri.
Pemuda Vietnam dari "desa para taipan" ini, layaknya Nam, mereka menghadapi tekanan besar dari pihak keluarga dan masyarakat luas untuk bisa berhasil, seperti kebanyakan lainnya yang bermigrasi ke Eropa.
Beberapa penyelundup manusia dan organisasi yang memfasilitasi visa kerja di Vietnam juga menggunakan media sosial untuk menyebarkan foto-foto mobil mahal, perjalanan mewah, atau pakaian bermerek, untuk menarik minat orang-orang bermigrasi.
"Kekayaan dikomunikasikan di media sosial, dan ini juga menciptakan gambaran yang salah. Hampir tidak ada informasi tentang kegagalannya," kata Baumann.
Faktor sosial juga berperan untuk memastikan para korban tetap bungkam. Tekanan untuk sukses itu membuat para korban enggan berbagi kegagalan atau perjuangan berat mereka, termasuk kondisi kerja yang sangat keras atau eksploitasi seksual.
Sejumlah imigran ielgal juga rela berkorban dan menanggung segala kesulitan demi mendukung keluarga mereka di Vietnam.