Al-Sharaa Menolak Berjabat Tangan dengan Menteri Jerman: Apa Alasannya?
Simak alasan di balik penolakan Al-Sharaa bersalaman dengan Menteri Jerman.
Penulis: Tiara Shelavie
Editor: timtribunsolo
TRIBUNNEWS.COM - Pemimpin Hayat Tahrir al-Sham (HTS) sekaligus pemimpin de facto Suriah, Ahmed al-Sharaa, baru-baru ini mendapatkan sorotan luas setelah menolak untuk berjabat tangan dengan Menteri Luar Negeri Jerman, Annalena Baerbock.
Kejadian ini menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat internasional, terutama terkait dengan implikasi politik dan sosial di Suriah.
Mengapa Al-Sharaa Menolak Bersalaman?
Baerbock bersama Menteri Luar Negeri Prancis, Jean-Noel Barrot, melakukan kunjungan ke Suriah pada Jumat (3/1/2025), sebagai bentuk dukungan terhadap pemerintahan transisi di negara tersebut.
Kunjungan ini merupakan bagian dari upaya Jerman dan Prancis untuk membantu membangun kembali Suriah setelah runtuhnya rezim Bashar al-Assad.
Namun, saat keduanya tiba di istana kepresidenan di Damaskus, Al-Sharaa hanya mengulurkan tangannya kepada Barrot, sementara kepada Baerbock ia hanya meletakkan tangan di dada sebagai bentuk salam.
Barrot sebelumnya juga awalnya meletakkan tangannya di dada, namun akhirnya berjabat tangan setelah Al-Sharaa mengulurkan tangan lebih dulu.
Momen ini menimbulkan reaksi beragam dari publik, terutama di Barat.
Banyak yang khawatir tindakan Al-Sharaa mencerminkan upaya kelompok militan untuk memaksakan identitas agama dalam sistem politik dan pendidikan baru di Suriah.
Apa Kata Baerbock Tentang Kontroversi Ini?
Annalena Baerbock memberikan komentarnya terkait situasi tersebut.
Ia menyatakan, "Saat saya berkunjung ke Suriah, saya sudah jelas bahwa tidak akan ada jabat tangan seperti biasa."
Hal ini menegaskan bahwa Baerbock sudah mengantisipasi tindakan Al-Sharaa, meskipun tetap menjadi sorotan media.
Baca juga: Bandara Beirut Berlakukan Aksi Ketat ke Diplomat Iran, Hizbullah Ancam Lebanon Seperti Suriah
Dalam sebuah pernyataan di platform X (dulu Twitter), Barrot menyampaikan bahwa ia dan Baerbock telah menerima jaminan dari otoritas baru Suriah bahwa ada komitmen untuk memastikan partisipasi perempuan dalam transisi politik.
Di tengah upaya mendapatkan pengakuan internasional, Al-Sharaa menghadapi tantangan berat untuk menyatukan negara yang terpecah serta membawa semua milisi di bawah kendali pemerintah.
Pembangunan kembali ekonomi dan infrastruktur Suriah diperkirakan akan memakan biaya ratusan miliar dollar.
Al-Sharaa yang memimpin HTS, sebuah kelompok Islam garis keras yang sebelumnya merupakan cabang Al-Qaeda, berusaha untuk menjalin hubungan baik dengan komunitas internasional sambil berjanji untuk menghormati hak-hak dan kebebasan semua warga Suriah, tanpa memandang jenis kelamin atau agama.
Sebagai bagian dari langkah untuk menunjukkan komitmennya, Al-Sharaa baru-baru ini menunjuk dua tokoh wanita dalam posisi penting di pemerintahan.
Ia menangkat Aisha al-Dibs sebagai Kepala Kantor Urusan Perempuan.
Selain itu, Maysaa Sabrine ditunjuk sebagai Gubernur Bank Sentral Suriah, menjadikannya wanita pertama yang menduduki posisi tersebut dalam sejarah 70 tahun.
Dengan pengalaman lebih dari 15 tahun di sektor perbankan, Sabrine diharapkan dapat membawa perubahan positif dalam pengelolaan ekonomi Suriah yang sedang mengalami krisis.
Konten ini disempurnakan menggunakan Kecerdasan Buatan (AI).
Kirim Komentar
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.