Mengenang Nurtanio, Pembuat Pesawat Bersenjata Pertama Indonesia
Penerbangan perdana dilaksanakan tanggal 1 Agustus 1954 oleh Captain Powers, pilot uji berkebangsaan AS yang kala itu bekerja untuk TNI AU.
Editor: Malvyandie Haryadi
TRIBUNNEWS.COM - Sepulang menimba ilmu Teknik Penerbangan di FEATI (Far Eastern Aero Technical Insitute) Manila, Filipina, Nurtanio Pringgoadisuryo pria kelahiran Banjarmasin 3 Desember 1923, langsung merancang pesawat terbang pertama untuk Indonesia.
Ia mengerjakannya bersama tim berjumlah 15 orang di Depot Penyelidikan, Percobaan & Pembuatan, Lanud Andir, Bandung pada tahun 1953. Kala itu Nurtanio berusia 30 tahun.
Nurtanio menamai pesawatnya Sikumbang dengan kode Nu-200.
Karena keterbatasan material, beberapa bagian pesawat terpaksa menggunakan kayu, seperti pada bagian sayap belakang. Sedangkan mesin menggunakan de Havilland Gipsy Six I berdaya 200 Tenaga Kuda, bekas pakai pesawat TNI AU.
Prototipe pertama Sikumbang diberi nomor registrasi X-01.
Penerbangan perdana dilaksanakan tanggal 1 Agustus 1954 oleh Captain Powers, pilot uji berkebangsaan AS yang kala itu bekerja untuk TNI AU.
X-01 mengudara selama 15 menit di atas Kota Bandung dengan hasil memuaskan.
Nurtanio merancang Nu-200 sebagai pesawat intai bersenjata yang dapat dioperasikan dari lapangan terbang tanah atau rumput. Untuk lepas landas, Sikumbang yang memiliki panjang 8,19 meter dan tinggi 3,35 meter ini hanya butuh jarak 350 meter saja.
Sedangkan untuk mendarat malah lebih pendek lagi yakni hanya 150 meter.
Seiring berjalannya waktu, Sikumbang juga digunakan sebagai pesawat antigerilya (counter insurgency – COIN).
Nurtanio merancang Sikumbang agar bisa dipasangi dua senapan mesin di sayap dan satu cantelan di bawah masing-masing sayap untuk membawa satu bom napalm atau empat roket kaliber lima inci.
Namun baru senapan mesin kaliber 7,7mm yang kala itu berhasil terpasang dan telah diuji sistemnya.
Kekurangan utama yang dirasakan Nurtanio dari Nu-200, adalah karena tenaga yang dihasilkan mesin Gipsy nyatanya terlalu rendah.
Sedangkan bobot mesin itu terlampau berat. Nurtanio kemudian memperbaiki kekurangan ini pada prototipe Sikumbang yang kedua, yakni Nu-225.