Melirik Pala Organik Hasil Petani Halmahera, Maluku
Pulau Halmahera di Maluku menyimpan banyak cerita. Salah satunya soal pala organik yang terus berkembang hingga tingkat dunia.
Penulis: Sponsored Content
TRIBUNNEWS.COM – Sejak zaman dulu Kepulauan Maluku selalu terkenal dengan kekayaan alamnya yang berlimpah. Salah satunya pala.
Rempah-rempah itu terkenal berkat kualitasnya yang baik dan mengagumkan. Sudah menjadi cerita lama, pala asal Maluku diburu para pedagang Portugis dan Belanda di zaman sebelum kemerdekaan.
Sejatinya, pala di Maluku bersumber dari pulau-pulau yang terletak di sana, seperti Ternate, Tidore dan Halmahera. Dari ketiga pulau ini, Halmahera menduduki peringkat utama dalam produksi pala. Bahkan, baru-baru ini para petani di sana mengembangkan satu jenis pala baru, yakni pala organik.
Pala organik di Pulau Halmahera dikembangkan secara tradisional, tanpa bahan kimia. Sama seperti jenis tanaman organik lainnya, pala organik memiliki harga yang jauh lebih tinggi dibandingkan pala biasa.
Jika pala biasa dibanderol Rp 100 ribu per kilogram, pala organik mampu mencapai harga Rp 150 ribu per kilogram.
Tak heran, pala organik tersebut kini mulai dilirik negara-negera Eropa, seperti Jerman, Belanda dan Spanyol. Selain itu, Singapura dan Amerika Serikat juga dikabarkan mulai mengincar pala organik yang dikembangkan di Halmahera itu.
Inovasi pala organik tersebut dimulai dari Kebun Percobaan (KP) yang dikelola Balai Penelitian Tanaman Pangan (BPTP) Maluku Utara. Terletak di Pulau Bacan, Halmahera Selatan, para peneliti BPTP mengembangkan pusat penelitian pertanian organik dengan pala sebagai bahan utamanya.
Teknologi pasca panen menjadi ‘senjata utama’ BPTP Maluku Utara dalam mengembangkan pala organik itu. Jika umumnya daging buah pala dibuang sebagai limbah, mereka berusaha memanfaatkannya dengan mengolahnya kembali menjadi komoditi lain. Salah satu komoditi hasil olahan itu adalah sirup pala, selai, dan balsem pala.
Produksi pala organik di Halmahera sendiri terpusat di dua kabupaten, yakni Kabupaten Halmahera Tengah yang produksinya mencapai 38,69%, dan Kabupaten Halmahera Utara yang produksinya 24,45%. Angka tersebut merupakan perbandingan dari total keseluruhan produksi pala di Kepulauan Maluku.
Di sana, para petani pala tidak perlu banyak berkeksperimen dalam mengolah pala. Sebab, tanah di Halmahera tergolong subur sehingga pohon pala tumbuh dan berbuah lebat.
Sebagai bentuk dukungan pengembangan pala organik, Dinas Pertanian Maluku Utara pun telah membagikan puluhan ribu bibit pala pada seluruh petani di kabupaten dan kota di Maluku Utara sejak tiga tahun terakhir.
Dengan pembagian puluhan ribu bibit pala tersebut, diharapkan pala organik di Halmahera mampu menghasilkan produksi yang berkualitas, sehingga permintaan produksi dari berbagai negara dapat dipenuhi dengan baik dan maksimal.
Selain itu, berbagai kelompok tani bersama pihak terkait lain juga terus berusaha mendapatkan sertifikat yang diakui secara internasional.
Nantinya, sertifikat tersebut berguna untuk mendapatkan harga premium, sehingga petani pala bisa langsung mengirimkan biji pala kering dengan kualitas terbaik langsung ke eksportir.
Sertifikat itu sendiri bisa didapatkan setelah melalui serangkaian tes dan persyaratan. Salah satu syarat utamanya, para petani tidak boleh menggunakan pupuk kimia atau bahan kimia lain dalam memproses biji pala.
Selain itu, peralatan yang digunakan tidak boleh menggunakan sabun colek atau deterjen, termasuk obat nyamuk bakar pun tidak boleh digunakan dekat dengan lokasi penjemuran atau penyimpanan pala, karena akan memengaruhi kualitas pala yang dihasilkan.
Berkat potensi dan kualitasnya yang terus berkembang hingga kini, Kementerian Pertanian terus meningkatkan mutu pala organik di Indonesia dengan beragam cara.
Salah satunya dengan memberikan bantuan teknis kepada para petani, supaya pala yang diekspor tidak mengandung zat dan bahan yang berbahaya, seperti jamur aflatoksin.
Sejauh ini Indonesia sendiri telah menjadi produsen dan eksportir pala terkemuka dunia. Sekitar 75 persen pangsa pasar global untuk pala telah dikuasai Indonesia.
Hal itu tentunya menjadi kesempatan emas bagi Kementerian Pertanian untuk memanfaatkannya secara maksimal, agar para petani pala di Indonesia dapat hidup makmur dan sejahtera. (advertorial)