Alasan Wapres JK Putuskan Percepat Target Indonesia Bebas Tuberkulosis dari 2050 Jadi Tahun 2025
Wapres JK menilai target Indonesia bebas tuberkulosis tahun 2050 terlalu lama. "Harus dipercepat, tentu dengan kerja keras," katanya.
Editor: Agung Budi Santoso
TRIBUNNEWS.COM - Wakil Presiden Jusuf Kalla berharap Kementerian Kesehatan dan pemangku kesehatan lain mempercepat upaya pengendalian tuberkulosis.
Hal itu demi mewujudkan Indonesia bebas tuberkulosis yang sebelumnya ditargetkan tercapai tahun 2050 menjadi 2025.
"Saya kira terlalu lama itu (dicapai) jika 2050. Jadi, harus kita percepat. Karena dipercepat, tentu harus kerja keras," kata Wapres Kalla pada acara puncak peringatan Hari Tuberkulosis (TB) Sedunia di Istana Wakil Presiden, Jakarta, Selasa (24/3).
Acara bertema "Stop TB, Ketok Pintu oleh Kader TB" itu dihadiri Menteri Kesehatan Nila F Moeloek, sejumlah menteri lain, dan puluhan kader dari organisasi masyarakat, seperti Aisyiyah dan Nahdlatul Ulama.
Menurut Kalla, sejak dulu beberapa penyakit, seperti TB, malaria, cacar, dan penyakit menular lain, sudah menjadi perhatian masyarakat. Meski saat ini sejumlah penyakit berkurang, pemerintah harus tetap berusaha keras menghentikannya.
Sejak kuman TB ditemukan Robert Koch pada 1882 hingga kini, itu berarti sudah 133 tahun kuman penyakit itu belum bisa diatasi sepenuhnya. "Kalau sampai terus kita peringati, terlalu lama. Jadi, harus dipercepat peringatannya," ujarnya.
Kalla menegaskan, perlu kerja keras untuk mengubah perilaku dan kebiasaan demi mencegah munculnya tuberkulosis. Contohnya, rumah harus sehat, tak ada debu dan asap, serta menghilangkan kebiasaan merokok.
Terkait kemiskinan
Menkes Nila Moeloek menyatakan, pengendalian TB di Indonesia mencapai banyak kemajuan yang ditandai dengan peningkatan cakupan layanan TB dan meningkatnya angka kesembuhan. Namun, banyak pasien TB belum diobati. "Masalah TB terkait kemiskinan dan kebiasaan hidup, ini harus diatasi pemerintah," ucapnya.
Setiap tahun, kasus baru TB di Indonesia diperkirakan 460.000 orang. Dari jumlah itu, kasus yang bisa dijangkau baru sekitar 320.000 penderita. Artinya, masih ada sekitar 140.000 kasus belum terjangkau.
Dokter spesialis paru di Rumah Sakit Umum Pusat Persahabatan Erlina Burhan memaparkan, pencarian kasus TB di masyarakat seharusnya bisa dilakukan optimal oleh fasilitas kesehatan tingkat pertama. Selain mencari penderita baru, petugas perlu melacak riwayat kontak pasien TB.
Ketika dihubungi secara terpisah, Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI) Arifin Nawas mengatakan, banyak pasien TB belum terdeteksi. Kasus TB resisten obat yang meningkat menjadi masalah baru penanggulangan TB global.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menerbitkan standar internasional penanganan TB (International Standard for Tuberculosis Care/ISTC). Jika standar itu dipatuhi dan pasien patuh berobat, risiko TB resisten obat tidak akan terjadi. (HAR/ADH)