Nikmati berita interaktif dan LIVE report 24 jam hanya di TribunX
Tribun Kesehatan

Curhatan Ratnawati Ketika Sang Suami Ajukan Permintaan Suntik Mati

“Saya sudah bilang jangan lakukan itu dan katanya dia sudah tak sanggup lagi menahan beban hidup dan sakit yang diderita,” ujar Ratnawati

Editor: Choirul Arifin
zoom-in Curhatan Ratnawati Ketika Sang Suami Ajukan Permintaan Suntik Mati
KOMPAS IMAGES
Ratnawati (berkerudung motif bunga, dua dari kiri) bersama kuasa hukumnya dari YARA saat mengajukan permohonan eutahanisa untuk suaminya, Berlin Silalahi, ke Pengadilan Negeri Banda Aceh. Berlin Silalahi mengaku putus asa dan tak tahan lagi atas penyakit radang tulang yang dideritanya. 

TRIBUNNEWS.COM, BANDA ACEH – Tak tahan menanggung beban penyakit yang dideritanya, Berlin Silalahi (46) mengajukan permohonan eutanasia atau tindakan mengakhiri hidup seseorang yang sakit parah dengan kematian yang dinilai tenang, biasanya dengan suntikan, ke Pengadilan Negeri Banda Aceh.

Berlin adalah seorang korban penggusuran dari barak pengungsi tsunami di Gampong Bakoy, Kecamatan Ingin Jaya, Aceh Besar.

Sang istri, Ratnawati, sudah menyetujui permohonan tersebut. Dia mengaku hanya bisa pasrah atas keinginan suaminya tersebut.

“Saya sudah bilang jangan lakukan itu dan katanya dia sudah tak sanggup lagi menahan beban hidup dan sakit yang diderita,” ujar Ratnawati saat mengantarkan permohonan pengajuan tersebut didampingi kuasa hukum mereka dari Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA), Rabu, (3/5/2017).

Berlin sendiri tidak bisa hadir karena sedang sakit dan menderita lumpuh dan saat ini berada di Kantor YARA.

Dokter memvonis Berlin Silalahi menderita radang tulang sehingga menyebabkan kedua kakinya tak bisa digerakkan lagi.

Menurut dia, suaminya sudah merasa putus asa dengan penyakit kronis yang dideritanya yang tak kunjung sembuh.

Berita Rekomendasi

Ditambah lagi kondisi hidup mereka yang kini tidak lagi memiliki rumah tempat tinggal karena barak yang mereka huni dalam beberapa tahun terakhir ini digusur oleh Pemerintah Kabupaten Aceh Besar.

"Jadi Bapak sepertinya sudah putus asa. Setelah pembongkaran barak kemarin secara paksa, dia ambil keputusan itu, saya terkejut. Saya sudah upaya melarang, tapi dia bersikeras atas kemauannya itu," ungkap Ratnawati.

Ratnawati bercerita, mereka adalah korban bencana gempa dan tsunami Aceh yang terjadi tahun 2004 lalu. Pasca-bencana mereka tak kunjung mendapat bantuan rumah dari pemerintah maupun dari lembaga non pemerintah.

“Jadi kami tinggal di barak pengungsian ini dari dulu, karena tidak kunjung dapat bantuan rumah, tapi kini barak tersebut digusur, dan ini semakin menambah beban hidup kami,” keluhnya.

Safaruddin, Ketua YARA, yang juga Kuasa Hukum Ratnawati, mengatakan pihaknya hanya membantu sebatas pemberian pemahaman secara hukum kepada BA.

“Pasca digusur, Ratnawati beserta suaminya tinggal bersama 17 kepala keluarga lainnya di kantor YARA. Mereka tinggal berdesak-desakan dalam kondisi darurat sebelum mendapat hunian yang lebih layak,” ujar Safaruddin.

Sementara itu, Humas Pengadilan Negeri Banda Aceh, Eddy SH mengatakan bahwa hokum positif di Indonesia tidak mengenal pelaksanaan eutanasia. Menurut dia, belum pernah pengadilan menerima pengajuan itu karena eutanasia tidak terdapat dalam hukum positif, yang ada hanya hukuman mati atas putusan pengadilan.

"Namun demikian, permohonan yang diajukan ke pengadilan tetap kita terima, dan akan diproses, majelis hakimlah nanti yang akan memutuskan hal ini,” ungkap Eddy.

Penulis: Daspriani Y Zamzami

Sumber: Kompas.com
Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda
Baca WhatsApp Tribunnews
Tribunnews
Ikuti kami di
© 2024 TRIBUNnews.com,a subsidiary of KG Media. All Right Reserved
Atas