Peneliti Jerman Ini Sebut Sperma Bisa Sembuhkan Penyakit Kanker Ini
Untuk tes ini, para ahli menggunakan sperma sapi jantan karena ukurannya mirip dengan sperma manusia.
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM - Kebanyakan jika berbicara tentang seks menganggap hal tersebut hal imoral dan melanggar batas sosial.
Tapi yang satu ini bukan semata tentang seks itu sendiri, melainkan manfaat sperma.
Tahukah anda jika sebenarnya sperma milik pria tidak hanya bisa untuk membuahi sel telur dan berkembang menjadi janin, namun dianggap bisa membantu menyembuhkan kanker.
Nah, sering kali kaum pria membuang begitu saja sperma mereka saat masturbasi atau berhubungan badan dengan istri.
Padahal, membuang sperma begitu saja di tisu atau benda apapun sebenarnya sangat merugikan.
Dikutip dari MIT Technology Review, baru-baru ini peneliti dari Jerman menemukan fakta mengejutkan jika sifat sperma yang bisa berenang dan menembus inti sel bisa digunakan untuk menembus sel kanker.
Seperti diketahui, masalah yang harus dihadapi sperma, selain dengan pemberian obat, adalah seringkali menjadi encer dalam cairan tubuh atau diserap oleh organ lain.
Dan bahkan ketika mereka mencapai target mereka, mereka tidak dapat selalu menembus jaringan kanker dengan mudah.
Karena itu, bagaimana obat bisa langsung fokus ke sumber penyakit yakni dengan bantuan sperma.
Sebagai langkah ke depan, seorang peneliti bernama Mariana Medina-Sánchez dan kawan-kawan dari Institute for Integrative Nanosciences di Jerman telah menciptakan sistem pengiriman obat unik yang menggunakan sperma untuk membawa bahan aktif ke dalam tumor.
Pendekatan baru mereka dirancang khusus untuk penyakit saluran reproduksi wanita seperti kanker ginekologi, endometriosis, penyakit radang panggul, dan lain-lain.
Sistemnya sederhana, dimana intinya Medina-Sánchez dan rekannya hanya merendam sperma dalam bahan aktif, yang menyebabkan sel sperma akan mengambil dosis yang sangat besar.
Mereka kemudian memaksa sperma untuk berenang menjadi semacam pengikat mekanis, struktur micro-machined yang mengencangkan diri yang menempel pada kepala sperma.
Dengan memiliki lapisan keras, memungkinkan sperma menuju sel yang diinginkan jika diberi penanda.
Idenya adalah bahwa ini terjadi ketika sperma mencapai tumor, dimana kemudian bisa masuk ke dalam jaringan dan masuk ke sel kanker itu sendiri.
Medina-Sánchez dan rekan-rekannya telah menguji mekanisme di lab mereka.
Untuk tes ini, mereka menggunakan sperma sapi jantan karena ukurannya mirip dengan sperma manusia.
Mereka memuat sperma dengan obat kemoterapi standar yang disebut Doxorubicin dan kemudian menempelkan sperma ke alat pengukur mekanis.
Mereka menguji kegunaan sistem dalam berbagai eksperimen di mana sperma berenang ke arah yang disesuaikan dan kemudian masuk ke model kanker standar yang terdiri dari sel HeLa dan heLa spheroids, yang mensimulasikan tumor itu sendiri.
Hasilnya cukup menarik.
Tim menemukan bahwa baju zirah secara signifikan memperlambat sperma, mengurangi kecepatannya hingga 43 persen.
Namun ternyata masih bisa bergerak dan masuk sel kanker.
Mereka menunjukkan bahwa mekanisme tersebut secara efektif membunuh sel kanker dan sel sperma dapat menembus spheroids kanker, membantu membunuh sel-sel di dalamnya.
Sperma memiliki keuntungan yang signifikan dibandingkan sistem pengiriman obat lain seperti bakteri, yang dapat memicu respons imun yang signifikan.
Dan tidak seperti bakteri, sel sperma tidak berproliferasi membentuk koloni yang bisa menimbulkan masalah lain.
Sperma memiliki kelebihan lain juga.
Mereka melindungi obat dari enzim yang dapat menurunkannya, dan mereka tidak membuang muatannya secara tidak terduga, yang merupakan masalah potensial dengan obat-obatan yang dibawa di kandang molekul yang disebut misel.
Tentu saja, pekerjaan tersebut menimbulkan pertanyaan penting yang perlu ditangani oleh Medina-Sánchez dan rekan kerja.
Misalnya, setelah mengantarkan sperma, penggunaan mekanis tidak akan berperan lagi dalam perawatan, dan memahami cara tubuh menangani dan menurunkan perangkat ini akan menjadi penting.
Akhirnya, tim ini juga perlu menguji mekanisme ini dengan sperma manusia.
Dan itu menimbulkan pertanyaan tentang etika dimana sperma akan digunakan untuk jenis pengobatan ini, dan bagaimana dengan potensi kehamilannya.
Jika pertanyaan ini bisa dijawab secara memuaskan, teknik ini memiliki potensi yang signifikan.
Setiap tahun, sekitar 100.000 wanita di A.S. didiagnosis menderita kanker ginekologi.
Perlakuan yang lebih baik sangat dibutuhkan dalam kasus ini.
"Sistem hibrida sperma dapat dibayangkan untuk diterapkan dalam diagnosis dan pengobatan kanker dalam waktu dekat," kata Medina-Sánchez dan rekannya.