Mikroplastik Belum Terbukti Timbulkan Bahaya Serius bagi Kesehatan
Bahaya sumber pangan manusia yang terpapar mikroplastik (plastik berukuran 1-5000 mikron) bisa menimbulkan masalah serius bagi kesehatan
Editor: Toni Bramantoro
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Bahaya sumber pangan manusia yang terpapar mikroplastik (plastik berukuran 1-5000 mikron) bisa menimbulkan masalah serius bagi kesehatan belum bisa dibuktikan secara ilmiah. Tak heran, jika temuan ini masih menjadi polemik.
Pakar plastik dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Profesor Ir Akhmad Zainal Abidin M.Sc Ph.D mengemukakan, sejatinya plastik memiliki molekul yang besar dan ikatan sangat kuat. Sehingga, bahan plastik bersifat tidak mudah bereaksi atau larut dalam zat apapun.
"Plastik itu tidak bereaksi. Kalau komponen plastik masuk ke dalam tubuh, pasti kemasannya keluar lagi. Karena itu plastik digunakan untuk wadah makanan macam-macam, dan bisa dikatakan aman," jelasnya, Kamis (15/3/2018).
Dia berpendapat, penelitian tentang mikroplastik selama ini tidak dilakukan oleh ahli yang menggeluti Polymer Science.
Mereka hanya menduga-duga karena latar belakang keilmuan penelitinya kebanyakan memiliki latar belakang ilmu yang berbeda.
"Metode yang digunakan belum ada standar Sehingga secara ilmiah masih kontroversi," tegasnya.
Profesor Akhmad mengungkapkan, plastik selama ini justru ramah terhadao manusia dan sering digunakan untuk kepentingan medis sebagai alat bantu kesehatan, seperti pembuatan katup jantung sintetis, perbaikan tulang yang rusak, bahkan untuk kecantikan termasuk bedah plastik.
Polemik mikroplastik ini sendiri menyeruak dari sebuah penelitian yang dilakukan organisasi media nonprofit ORB Media bersama dengan State University of New York yang beberapa kali dilakikan.
Sebelum meneliti tentang kandungan mikroplastik dalam produk minuman, ORB melakukan studi yang mengungkapkan bahwa mikroplastik ditemukan di jaringan air ledeng dan sumur di negara-negara seluruh dunia, termasuk Indonesia.
Kondisi tersebut ditemukan melalui analisa 159 sampel air ledeng dan air tanah yang berasal dari delapan wilayah di lima benua.
Di antaranya, Jabodetabek, Indonesia (21 sampel); New Delhi, India (17 sampel); Kampala, Uganda (26 sampel).
Juga di Beirut, Lebanon (16 sampel); Amerika Serikat (36 sampel); Kuba (1 sampel); Quito di Ekuador (24 sampel), dan Eropa (18 sampel).
Dari 159 sampel air keran yang diambil dari lima negara tersebut, 83 persen di antaranya mengandung partikel serat plastik mikroskopis (mikroplastik).
"Jadi masalah mikroplastik ini lebih ke masalah lingkungan dan perlu upaya pengelolaan yang baik. Saya merupakan pendukung dan pendorong konsep MASARO (Manajemen Sampah Zero), tegasnnya.