Begini Saran Ketua PB IDI untuk Perbaikan JKN dalam Menghadapi UHC
Isu defisit dana JKN setiap tahun diyakini terjadi karena faktor hulu penetapan nilai fundamental premi yang tidak sesuai nilai keekonomian
Editor: Eko Sutriyanto
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Memasuki tahun ke-lima pelaksanaan sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) ini telah menuai berbagai masalah yang semakin kompleks sehingga perlu perbaikan sistem JKN agar dapat tetap berjalan dengan baik dan bermanfaat untuk rakyat Indonesia secara optimal.
Isu defisit dana JKN yang terjadi setiap tahun diyakini terjadi karena faktor hulu penetapan nilai fundamental premi yang tidak sesuai (miss match) dengan nilai keekonomian.
"Hal tersebut berdampak pada penentuan tarif kapitasi dan INA-CBG’s sebagai sistem tarif paket berbasis risiko pada pelayanan kesehatan juga menjadi lebih rendah dari nilai keekonomian biaya pelayanan kesehatan yang seharusnya, sehingga berdampak pada menurunnya kualitas pelayanan kesehatan yang diberikan ke peserta," kata Ketua Umum, Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia, Prof Dr Ilham Oetama Marsis SPOG, Senin (30/4/2018).
Baca: Jenderal Tito Takjub Bocah 3 Tahun Hapal Pancasila, Begini Faktanya
Selain itu, kata dia masih ada permasalahan distribusi peserta di FKTP (Fasilitas Kesehatan Tingkat Primer) tidak merata dan belum menerapkan sistem keadilan sehingga pemerataan kesehatan akan sulit tercapai dan upaya promotif dan preventif tidak dapat berjalan maksimal.
"Terlebih, pelaksanaan program JKN tidak didukung oleh ketersediaan jumlah obat dan alkes dalam jumlah yang cukup dan sering terjadi kekosongan obat," katanya.
PB IDI menghimbau terkait perbaikan JKN dalam menghadapi Universal Health Coverage (UHC) :
1. Setiap dokter di Indonesia harus memegang teguh nilai-nilai kemanusiaan dan keselamatan pasien yang utama dalam menjalankan tugas dan berkomitmen untuk melaksanakan Good Clinical and Corporate Governance bersama-sama fasilitas kesehatan.
Baca: Keberlanjutan Program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) Jadi Sorotan Khusus
2. Mengutamakan peran puskesmas sebagai garda terdepan usaha promotif dan preventif. Saat ini Puskesmas tulang punggung dari promotif dan preventif terbebani dalam pelayanan kuratif
3. Dukungan negara terhadap peningkatan sarana dan prasarana kesehatan, sumber daya tenaga medis dan tenaga kesehatan dan obat obatan baik di fasilitas kesehatan pemerintah maupun swasta.
4. Peninjauan kembali anggaran JKN agar dapat memenuhi manfaat JKN kepada peserta. Apabila pemerintah tidak sanggup memenuhi kebutuhan pelayanan kesehatan sesuai dengan standar, maka perlu dipertimbangkan penyesuaian manfaat bagi peserta agar tidak terjadi penurunan kualitas pelayanan kesehatan yang dapat mengancam kelangsungan hidup generasi mendatang.
5. Perbaikan menyeluruh tarif INA-CBG’s yang berbasis TD-ABC Integrate Care Pathway dan sesuai dengan sesuai standart pelayanan kedokteran .
6. Perbaikan Sistem Perundang Undangan dan peraturan di bawahnya, pemerintah perlu meninjau ulang peraturan peraturan yang menghambat pelaksanaan JKN. Yang utama adalah PERMENKES No 56 tahun 2016 pasal 14 ayat (1) tentang pengelompokan tarif sesuai kelas RS (Rumah Sakit). Hal ini menghambat penyebaran dokter ke RS Tipe C dan D, padahal RS Tipe C dan D adalah yang terbanyak di Indonesia dan bertentangan dengan prinsip keadilan.
Baca: Kisah Unik Jamie dan Anthony, Pasangan yang Terlahir di Hari dan Rumah Sakit yang Sama
7. Perlu adanya transparasi Pengelolaan JKN untuk meningkatkan kepercayaan dan komitmen kelancaran pembayaran ke Fasilitas Kesehatan agar pelayanan kesehatan tidak terhambat.
8. Biaya kesehatan paket INA-CBG’s di fasilitas pemerintah di bedakan dengan fasilitas swasta, karena terdapat sedikitnya 30% biaya produksi yang sudah di tanggung negara di fasilitas pemerintah. Hal ini menyebabkan pembiayaan ganda, betentangan dengan prinsip keadilan serta berpotensi menyebabkan penyimpangan penggunaan JKN dan menambah defisit anggaran JKN.
9. Memperkuat program JKN dengan membayar fasilitas kesehatan dengan harga yang layak sesuai dengan hitungan aktuaria yang tepat yang dihitung dari lembaga independen.